Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2011
Halaman: 359
Harga: Rp. 60.000 (Rp. 20.000 di bazaar Gramedia Palmerah :))
Lasi adalah seorang perempuan berparas unik. Hal ini karena ayahnya adalah serdadu Jepang yang membelot membela Indonesia yang menikah dengan perempuan lokal Karangsoga. Sayang, ayah Lasi menghilang dalam perang kemerdekaan. Sejak itu, Lasi selalu diejek karena penampilannya yang berbeda: tinggi, putih, bermata sipit menarik. Selain itu, orang-orang Karangsoga juga lebih mengenal Lasi sebagai anak haram serdadu Jepang. Lasi-pang alias Lasi Jepang, begitu anak-anak Karangsoga kerap meledeknya. Hanya Kanjat yang dua tahun lebih muda dari Lasi, anak orang terkaya di Karangsoga, yang tidak pernah menjahatinya.
Setelah dewasa, Lasi menikah dengan Darsa, seorang penyadap nira, keponakan ayah tiri Lasi. Walau serba kekurangan, Lasi bahagia bersama Darsa. Sampai suatu hari, Darsa kecelakaan dan jatuh dari pohon kelapa. Walau akhirnya dapat pulih, Darsa menjadi impoten dan sejak itu, Darsa berubah. Lasi berjuang sekuat tenaga menolong Darsa, bahkan memperkenalkan Darsa kepada Bunek, dukun pijat. Siapa sangka, Darsa memang sembuh, tapi malah menghamili anak Bunek, Sipah.
Sakit hati dan tak rela dimadu, Lasi kabur ke Jakarta ikut truk pembawa gula merah yang disetir Pardi. Sampai Jakarta, Lasi dititipkan ke Bu Koneng, pemilik warung plus-plus di daerah Klender. Walau terlihat mengerti penderitaan Lasi, Bu Koneng memiliki rencana jahat terhadap Lasi, yang cantik dan pasti digemari laki-laki. Bu Koneng lalu memperkenalkan Lasi kepada Bu Lanting, mucikari kelas atas yang memiliki bisnis perempuan dengan pejabat-pejabat teras. Lasi dibawa ke rumah Bu Lanting dan didandani habis-habisan, menjadi bak bekisar merah, ayam mahal pajangan orang-orang kaya.
Sejak saat itu, Lasi menjalani hidup mewah dan enak, namun tidak memiliki kebebasan. Ia memang memiliki suami. Hidupnya dikelilingi harta. Bahkan, tak sulit baginya membantu ibunya di Karangsoga. Namun, hatinya kosong. Pertemuannya kembali dengan Kanjat, anak lelaki baik hati dari masa lalunya, mengisi hati Lasi kembali.
Namun, bagaimana Lasi dapat lepas dari sangkar emasnya di Jakarta? Bisakah bekisar merah yang cantik itu lolos dan bebas tanpa takut tertangkap kembali?
Namun, kontras dengan keindahan desanya, kehidupan masyarakat Karangsoga tidaklah seindah itu. Masyarakat yang kurang berpendidikan dan nrimo, tidak bisa memanfaatkan kekayaan alamnya untuk menyejahterakan diri mereka sendiri dan tak kuat melawan jeratan para pengusaha kota besar yang seenaknya menekan harga gula merah sehingga merugikan warga Karangsoga.
Adapun Lasi, si tokoh utama, sebenarnya memang salah lahir di Karangsoga, desa terbelakang yang tidak bisa menghargai kecantikannya. Tidak seperti Srintil di buku Ronggeng Dukuh Paruk--karya Ahmad Tohari lainnya--yang menjadi primadona di dukuhnya, Lasi justru menjadi sumber gunjingan karena penampilan fisiknya, walau sebenarnya Lasi bukanlah perempuan yang suka berlaku macam-macam. Dan ketika Lasi akhirnya mendapatkan kesempatan pergi ke Jakarta, tempat yang sebenarnya mungkin bisa lebih tepat baginya, tempat di mana penampilan fisik Lasi bisa lebih dihargai, Lasi malah terkena masalah. Ibaratnya, lolos dari kandang singa masuk ke mulut buaya.
Di ibukota, Lasi juga melihat kenyataan pahit mengenai kehidupan orang-orang kota besar dan pejabat-pejabat teras. Suap dan pemerasan, jual-beli perempuan, dan juga nilai-nilai kesusilaan yang telah luntur dibalut mulut manis dan hamparan uang dan perhiasan yang seakan tiada habis, menghiasi hari-hari Lasi. Lasi kembali merasa resah akan hidupnya. Walau ia bisa membantu kehidupan orangtuanya di desa, Lasi merasa tak lebih dari pajangan pejabat yang dapat dibuang kapan saja si pejabat bosan.
Lewat Bekisar Merah dan perjalanan hidup Lasi, Ahmad Tohari menyampaikan kritik sosialnya kepada pemerintah saat itu, Orde Baru, mengingat novel ini pertama kali terbit tahun 1993. Cukup berani, saya rasa, karena pasti menyentil pejabat-pejabat saat itu akan cara hidup mereka yang glamor di satu sisi, namun kotor di sisi lainnya. Walau tidak menceritakan perlawanan rakyat desa terhadap nasib mereka, toh gambaran kemiskinan para petani dan juga kebusukan hidup para pejabat di ibukota sudah sampai ke pembaca dengan baik. Saya tidak tahu apakah cerita yang saya baca ini sama seperti yang terbit tahun 1993, pun tidak tahu apakah dulu ceritanya terkena sensor seperti Ronggeng Dukuh Paruk. Apapun itu, Ahmad Tohari sudah berani menyuarakan fakta pada saat itu.
Namun demikian, jika mengaitkan dengan kondisi saat ini di mana sosial media sudah merambah ke mana-mana, dan juga dengan pemerintahan Presiden Jokowi yang lebih membumi dan merakyat, saya merasa yakin kalau apa yang dipotret Ahmad Tohari pada masa itu telah banyak berubah saat ini. Memang, mungkin masih banyak desa tertinggal di pelosok Indonesia yang wilayahnya sangat luas ini. Namun, di banyak tempat pasti sudah banyak yang bisa lebih pintar meningkatkan kesejahteraannya dan juga bantuan pemerintah lebih mudah diakses. Kalau saya mau tunjuk, tonton saja acara Kick Andy, di mana seringkali dibahas mengenai anak-anak lokal yang pulang untuk membangun desanya setelah menuntut ilmu di kota atau bahkan luar negeri. Lalu, mengenai hal yang saya alami sendiri, di mana beberapa saat lalu saya bersama teman-teman sekantor beramai-ramai membeli tomat langsung dari petani dengan harga di atas pasar guna membantu mereka menghadapi harga tomat yang jatuh, berkat info di sosial media.
Dan mengenai kelakuan para pejabat seperti yang ditulis dalam buku ini, memang beberapa masih ada, namun banyak pula yang sudah ditindak. Banyak berita penangkapan oleh KPK, yang mencerminkan bahwa praktek-praktek kotor semacam itu semakin lama semakin dikurangi. Selain itu, para pejabat pun sekarang sudah tidak tampil mentereng. Minggu lalu, saya baru mengikuti reuni SMP saya di mana juga dihadiri oleh Gubernur BI dan Menteri Keuangan saat ini. Kedua pejabat teras itu datang dengan sederhana, tanpa protokoler ribet, dan berbaur dengan ribuan orang lainnya. Bandingkan dengan beberapa tahun lalu, di mana pernikahan teman saya dihadiri oleh Ketua DPR saat itu. Duh, saat beliau datang, radius beberapa meter harus dikosongkan, semua disetop hanya untuk sang pejabat naik ke panggung dan menyalami kedua mempelai dan keluarga.
Akhir kata, Bekisar Merah merupakan potret kehidupan warga Indonesia di masa lalu yang kontras. Dan sama fungsinya seperti potret, buku ini akan selalu menjadi pengingat bagi pembacanya agar kondisi yang sama tidak terjadi lagi di masa depan. Semoga Indonesia bisa semakin maju dan menyejahterakan setiap warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini