Pengarang: Okky Madasari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Halaman: 275
Harga: Rp. 55.000 tanpa CD, Rp. 78.000 dengan CD
Maryam tumbuh besar di keluarga Ahmadiyah di tengah kampung di Gerupuk, Lombok. Walau bisa hidup berbaur dengan warga-warga lain, keluarga Maryam hidup berdasarkan tata cara Ahmadiyah dan kerap ikut serta dalam pengajian dan komunitas Ahmadiyah di Lombok. Mereka juga hanya menerima calon menantu dari lingkungan Ahmadiyah, dan percaya kalau menerima orang di luar Ahmadiyah hanya akan membawa sial bagi mereka karena tidak seiman.
Maryam beruntung dapat mengecap kehidupan di luar Lombok, yaitu ketika kuliah di Surabaya dan bekerja di Jakarta. Namun, cinta pertamanya adalah dengan lelaki sesama Ahmadiyah, Gamal, yang diperkenalkan oleh keluarga angkatnya selama di Surabaya. Malang, Gamal tiba-tiba menjadi aneh. Ia menjauhi Ahmadiyah dan kemudian menghilang, meninggalkan Maryam yang patah hati. Selanjutnya, ketika bekerja di Jakarta, Maryam bertemu Alam, seorang muslim bukan Ahmadiyah. Hubungan Maryam dengan Alam ditentang habis-habisan oleh orang tua Maryam, yang tentu menghendaki calon menantu seorang Ahmadi juga. Maryam lalu memutuskan untuk kabur dan menikah dengan Alam tanpa restu orang tua. Maryam pun rela meninggalkan kepercayaannya, yang kerap dianggap sesat. Sayang, pernikahannya berakhir perceraian karena Alam terlalu dikendalikan oleh ibunya, yang sepertinya tidak bisa menghapus citra sesat pada diri Maryam.
Setelah perceraian, Maryam memutuskan untuk kembali ke Gerupuk. Alangkah kagetnya ia mengetahui kalau keluarganya telah diusir, menyusul penolakan warga terhadap Ahmadiyah yang semakin marak pada waktu itu. Keluarganya, bersama keluarga Ahmadi lainnya, telah pindah di satu daerah bernama Gegerung. Ayah dan ibunya menerima Maryam kembali, namun Maryam tidak bisa hidup sebagai Ahmadi seutuhnya seperti dulu, karena ia kini telah mengenal orang-orang di luar komunitasnya yang memandang komunitasnya sebagai sesat. Pada saat itu, kerusuhan kembali terjadi, menyebabkan seluruh warga Ahmadi di Gegerung sekali lagi harus mengungsi dan meninggalkan segala milik mereka.
Bagaimana kisah Maryam selanjutnya? Apakah Maryam akan kembali kepada imannya sebagai seorang Ahmadi atau meninggalkan keluarganya sekali lagi?
Lewat novel Maryam, pembaca diajak untuk mengenal keseharian orang-orang Ahmadi di Lombok. Tidak terlihat kesesatan dari keseharian mereka. Perilaku mereka yang masih cenderung tradisional justru malah kerap kita jumpai di lingkungan masyarakat di bagian lain Indonesia. Campur tangan orang tua dalam perjodohan anak-anak mereka, kepasrahan kepada Yang Mahakuasa, juga kedekatan antar anggota komunitas. Yang membuat mereka berbeda adalah iman mereka, yang dinilai kebanyakan orang merupakan penyelewengan dari salah satu agama besar di dunia, Islam. Maka, ketika hal itu dinilai sebagai ancaman, orang-orang pun lupa akan sisi lain kaum Ahmadi yang sebenarnya sama dengan mereka. Hanya satu perbedaan itu yang terlihat di mata mereka. Orang-orang Ahmadi dianggap sebagai lawan yang harus dihancurkan.
Membaca kisah mengenai ketidakadilan yang menimpa kaum Ahmadi karena iman mereka sungguh mengiris-iris hati. Bagaimana di tengah bangsa yang katanya menghargai keberagaman dan ketika Hak Asasi Manusia telah dijunjung tinggi, hak orang-orang Ahmadi untuk memeluk agama, untuk rasa aman, bahkan untuk memiliki tanah dan harta benda justru diinjak-injak. Sebuah kisah yang seharusnya dapat membuka mata dan hati para pembacanya. Mungkin inilah alasan buku ini dapat terpilih sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award tahun 2012. Karena urgensi atas pesan yang disampaikannya di tengah masyarakat Indonesia yang seperti saat ini.
Namun sayang, hal ini baru tampak di paruh terakhir buku, ketika akhirnya pengusiran terhadap warga Ahmadi mendapatkan porsinya dalam cerita. Sebelumnya, kisah Maryam justru jatuh seperti sinetron kebanyakan di mana perjodohan menjadi topik utamanya. Di paruh pertama, cerita justru berfokus pada penentangan Maryam terhadap larangan orang tuanya untuk menikah dengan Alam, yang berasal dari luar Ahmadiyah. Maryam, yang kadung jatuh cinta, akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa persetujuan orang tuanya. Dan, seperti kisah-kisah Indonesia kebanyakan, Maryam seperti terkena karma karena menentang kemauan orang tuanya. Hidupnya tidak berjalan lancar dan pernikahannya berakhir dengan perceraian, yang kemudian menuntun Maryam pulang dan menjadi saksi pengusiran terhadap warga Ahmadi.
Satu hal yang saya sayangkan lagi adalah bahwa Okky Madasari tidak menjadikan Maryam tokoh yang dapat menyuarakan kegelisahan kaum Ahmadi yang imannya dinilai sesat oleh orang kebanyakan. Orang yang hidup dengan mengimani satu hal akan membawa kebaikan namun di sisi lain malah mendatangkan kesengsaraan karena dinilai sesat oleh orang sekitar. Maryam justru tampil sebagai Ahmadi tempelan, tokoh yang menjadi Ahmadi hanya karena terlahir di keluarga dan komunitas Ahmadi. Maryam sendiri bukanlah orang yang mengerti ajaran Ahmadi sesungguhnya dan tidak mengamalkannya. Pengetahuannya terhadap ajaran Ahmadi hanyalah sejauh ritual dan kebiasaan yang dijalani orang tuanya. Jadi, ketika ia dianggap sesat, ia pun ikut mempertanyakan: apakah kepercayaan saya ini memang benar sesat? Bahkan sampai di akhir cerita, ketika Maryam menuntut keadilan untuk warganya, hal itu lebih didasari oleh solidaritasnya terhadap komunitas, bukan karena imannya terhadap kepercayaannya. Akan lebih tepat jika kisah ini dibawakan dari sudut pandang ayah Maryam, sebagai orang yang dituakan oleh kaum Ahmadi, karena akan dapat lebih menggali apa itu Ahmadi di mata penganutnya. Bagaimana pandangannya terhadap ajaran Ahmadiyah, bagaimana pemikirannya menghadapi tentangan anak sulungnya, dan bagaimana perasaannya menghadapi pengusiran dari warga sekitar.
Sebagai penutup, saya sebenarnya kecewa ketika membaca buku ini karena merasa tidak mendapatkan apa yang saya harapkan. Mungkin Okky Madasari ingin bermain aman dengan hanya menyentuh sisi kemanusiaan kaum Ahmadi dan tidak ingin memberikan vonis apapun. Namun, saya rasa, andaikata Okky mau lebih berani memaparkan mengenai ajaran Ahmadiyah maka pesannya akan lebih mengena dan mengendap di hati dan pikiran pembacanya.
Posting bareng BBI Februari 2014 dengan tema Historical Fiction Indonesia
Nana baca yg versi plus CD ? Isinya apa CD itu *kepo*
BalasHapusNgga mbak. Aku baca versi beli diskon Rp. 5000-an. Ahahaha. Katanya CD itu isinya lagu yang dinyanyikan Okky Madasari sendiri.
Hapuswah, mbak Okky bakat jadi penyanyi juga :D
HapusSayang ya, banyak yang memang agak gak suka 'abu2' di dalam buku ini, padahal Ahmadiyah adalah isu yang memang menjadi titik perhatian pembaca saat hendak membaca buku ini :)
BalasHapusKesanku tentang buku ini mirip-mirip sama waktu abis baca buku Pulang-nya Leila S. Chudori. Dua buku ini mengusung tema yang provokatif, tapi eksekusinya lebih banyak main di romance. Tapi tetep lebih suka Pulang ketimbang Maryam, karena Maryam ini gaya berceritanya lumayan ngebosenin, minim percakapan. Kalau Pulang lebih hidup.
Hapustemanya sensitif...tapi mungkin emang masih belum bisa diterima di sini kalau dieksekusi dengan lebih gamblang...padahal justru bisa jadi eye opener banget ya... aku penasaran pengen baca buku ini...atau buku2 okky lainnya. belum pernah soalnya :)
BalasHapusIya mbak. Sayang banget makanya. Mau pinjem?
HapusAku belum pernah baca satupun buku-bukunya Oky, tapi pengen banget suatu hari kesampaian baca buku-bukunya ;)
BalasHapus@lucktygs
http://luckty.wordpress.com/2014/02/27/review-the-jacatra-secret/
wah masih di timbunan, tadinya kupikir memang mengupas sisi Ahmadiyah, ternyata mala lebih romance ya? x(
BalasHapusBukan romance juga sih sebenernya. Lebih ke drama keluarga kayak sinetron gitu.
Hapusmasih ditimbunan juga, sebenernya waktu rahib baca ini untuk tema hisfic tahun lalu pengen segera baca juga tapi keduluan sama buku yang lain >.<
BalasHapuslebel pemenang KLA yang bikin saya minat ngelirik buku ini waktu di tokbuk, covernya juga membius namun sinopsisnya kurang greng di hati. Tetapi setelah membaca review di sini hmmm tema agak2 ya Kak, saya juga belum pernah baca tulisan Oky. Semoga kelak ada kesempatan membaca
BalasHapussalam
Cinta sama karya-karyanya Mbak Oky, selalu istimewa menurutku :D
BalasHapusKatanya Maryam ini sempat menjadi novel sorotan karena keapikan Mbak OKY merangkainya ya.... Dari resensinya kayaknya pembaca dibukakan mata soal kaum Ahmadi pun manusia biasa,, jadi pengen baca...
BalasHapusDengan banyaknya ormas yang fanatik dan "berani" mengambil jalan keras, memang agak sulit menyuarakan sesuatu secara blak-blakan. Maryam bukanlah satu-satunya yang mengambil jalur "aman." Novel-novel yang bertema hal-hal tabu yang ditulis oleh penulis Indonesia seringnya mengambil jalan "aman" seperti itu.
BalasHapuswah pas banget nih lagi baru mao baca ini gara2 beli diskonan di kerfur 15rb hohohooho tapi ga ad cd ny ckckckckcckk
BalasHapussmoga bisa d nikmati deh ni baca ny baru mao mule
Aku baru baca pasung jiwa aja, sempet penasaran sama maryam ini selain embel-embel menang penghargaan temanya juga agak sensitif awalnya soal agama gitu, tapi dari review kakak buat ternyata Mbak Okky masih berkutat dengan tema kemanusiaannya yang kuat :D
BalasHapusAku belum baca satu pun buku Okky Madasari. Banyak yang bilang Pasung Jiwa dan Maryam, bagus. Baca ini jadi tambah kepingin baca. Argh. :D *brb buka bukukita.com*
BalasHapusTemanya menarik ya.
BalasHapusJadi menarik, adat orang Ahmadiyah itu bagaimana.