Minggu, 01 Desember 2013

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah

Judul: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang: Tere Liye
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Halaman: 507
Harga: Rp 72.000 (di bukabuku Rp. 61.200)



Borno adalah pemuda berusia 22 tahun yang tinggal di tepi sungai Kapuas, Pontianak. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal dunia tersengat ubur-ubur. Namun demikian, sampai akhir hayatnya sang ayah pun masih berbuat baik karena jantungnya didonorkan kepada pasien rumah sakit lain yang membutuhkan.

Hidup Borno luntang-lantung, kerjanya serabutan mulai dari kerja di pabrik karet yang bau sampai menjadi petugas tiket di dermaga pelampung, sebutan untuk kapal feri yang mengangkut penumpang menyeberangi sungai Kapuas. Pekerjaan Borno sebagai petugas tiket di dermaga pelampung menyulut amarah Bang Togar, pemimpin penarik kapal bermesin motor tempel alias sepit di sungai Kapuas. Menurut Bang Togar, perbuatan Borno selain memalukan leluhurnya yang juga penarik sepit, juga menghina penarik sepit lainnya. Gambar wajah Borno dilaminating dan dipasang di seluruh dermaga layaknya buronan jaman koboi dan ia dilarang naik sepit. Akhirnya, Borno berhenti bekerja dan mulai belajar menjadi penarik sepit dari Pak Tua, tetangganya yang bijaksana dan juga sangat dekat dengan Borno.

Di sepit yang menjadi sumber mata pencahariannya itu, suatu hari Borno berjumpa dengan gadis peranakan Cina berwajah sendu dan manis yang tak sengaja menjatuhkan amplop angpau merah di dasar sepit Borno. Borno yang terpikat langsung berusaha keras mencari si gadis, yang ternyata bernama Mei. Akhirnya ia bertemu Mei sedang membagikan angpau merah kepada seluruh pengemudi sepit. Kecewalah hati Borno, karena ternyata angpau merah yang ada di perahunya tidak berarti apa-apa. Namun demikian, perlahan tapi pasti, ia menjadi dekat dengan Mei.

Kehidupan terus berjalan seperti roda untuk Borno. Kadang ia berada di atas, kadang ia berada di bawah. Pertemanannya dengan Mei tidak semulus yang ia bayangkan. Mei bisa tiba-tiba menghilang, bisa tiba-tiba datang kembali. Dan Borno masih tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepada Mei. Pekerjaannya pun sama tidak pastinya. Setelah stabil dengan pekerjaannya sebagai pengemudi sepit dan sesekali membantu di bengkel ayah Andi, sahabat Borno, Borno malah diajak berkongsi untuk membuka bengkel besar di kota oleh ayah Andi. Sayang, ketika sudah menjual sepitnya untuk menambah modal membeli bengkel, Borno dan ayah Andi malah kena tipu.

Begitu banyak hal yang terjadi di kehidupan Borno. Namun susah atau senang, berkat nasihat-nasihat Pak Tua dan optimisme Borno dalam memandang hidup, Borno tidak menyerah. Ia selalu bersabar dan menunggu jawaban yang terbaik.

Bagaimanakah kisah Borno selanjutnya?

Sebenarnya banyak yang ingin saya ceritakan mengenai kisah Borno di buku Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini karena, serius, kisahnya jauh lebih kompleks dan lebih berwarna ketimbang apa yang sudah saya ceritakan di atas. Namun, saya ingin teman-teman yang membaca blog ini untuk menikmati sendiri kisah seutuhnya dan belajar dari hidup Borno.

Kisah Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah lebih dari sekedar kisah cinta. Ini adalah kisah mengenai kehidupan, dan cinta hanyalah bagian kecil darinya. Membaca keseharian Borno, pembaca akan dapat merasakan dinamika masyarakat kecil di pinggir sungai Kapuas yang, walaupun suka kasar dan ngasal, sangat hangat dan menyayangi satu sama lain. Tokoh-tokoh yang ada di novel ini memiliki karakternya sendiri dan berhasil dihidupkan oleh Tere Liye dengan begitu baik. Koh Acong si pemilik toko kelontong yang nama Indonesianya bikin saya tertawa terpingkal-pingkal di perjalanan ke kantor sehingga membuat papa saya kaget, Cik Tulani yang walaupun pelit namun baik hati juga, Pak Tua yang bijaksana dan selalu menyimpan kejutan, Bang Togar yang galak namun sebenarnya perhatian dengan seluruh anggota pengemudi sepitnya, Andi yang pemalas namun sangat solider dengan Borno, sampai ke Jauhari yang selalu ketangkap basah sedang mengupil ketika menunggu antrian sepit. Mungkin hanya karakter Mei yang agak misterius karena memang kisahnya baru dibuka di akhir cerita. Menyenangkan, membuat pembaca seakan-akan hadir di antara mereka di pinggir sungai Kapuas, ikut serta menikmati keseharian mereka. Namun, tokoh favorit saya tentu saja Borno, si bujang yang katanya punya hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Membaca kisah Borno membuat saya ingin memiliki optimisme dan kelapangan hati sepertinya.

Ini adalah karya pertama Tere Liye yang saya baca dan saya sangat menikmati caranya bercerita. Caranya membawa pembaca untuk mengenal kota Pontianak dan penduduk sekitar sungai Kapuas sangat mengalir dan menyatu dengan keseluruhan cerita sehingga pembaca tidak merasa terlalu dibombardir informasi. Selain itu, Tere Liye juga berhasil membuat saya larut dalam emosi. Tidak jarang saya tiba-tiba tertawa ngakak membaca ulah para tokoh di novel ini lalu tak lama kemudian sudah berkaca-kaca karena terharu membaca bagian berikutnya. Terakhir, begitu banyak pesan moral yang Tere Liye selipkan di novel ini namun tidak ada kesan menggurui sama sekali karena pesan itu begitu menyatu dengan cerita dan diucapkan sesuai dengan keadaan tokoh-tokohnya pada waktu itu.

Sebagai penutup, saya bersyukur akhirnya bisa membaca novel ini setelah sekian lama memendam keinginan untuk membaca novel ini namun selalu saja terhalang hal-hal lain. Ada perasaan hangat dan puas ketika saya akhirnya harus menutup bukunya. Sangat saya rekomendasikan untuk dibaca teman-teman semua dan juga saya ingin sekali buku ini difilmkan. Kapan ya kira-kira?

9 komentar:

  1. Coba baca Rembulan Tenggelam di Wajahmu mbak ^^ Rekomen banget loh ^^

    BalasHapus
  2. Aku juga suka banget sama tokoh2 yang ada di buku ini :) Unik gitu, interaksinya lucu hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, udah kayak kehidupan sehari-hari banget, ngebanyol, kesel-keselan.. Duuh apalagi Borno-Pak Tua.

      Hapus
  3. Cinta beda tipis dengan Sungai Kapuas. Cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama semakin besar sungainya, karena semakin lama semakin banyak anak sungai perasaan yang bertemu.

    Cinta sejadi adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tidak pernah berhenti, begitu pula cinta.

    Siklus Sungai Kapuas ini jauh lebih abadi dibanding cintal gombal manusia. Beribu tahun tetap ada di sini, meski airnya semakin keruh. Sedangkan cinta gombal kita? Jangan bilang kematian, bahkan jarak dan waktu sudah bisa memutusnya. (hlm. 168)

    Suka dengan kutipan itu..., bukunya emang bener-bener recommended :D

    BalasHapus
  4. Yup, ini emang novel yang recommended banget :)
    Coba baca juga Sunset Bersama Rosie Kak, itu juga recommended banget loh :)

    BalasHapus
  5. Nyesel kenapa ga dari dulu baca karya2 Tere Liye.... makasih reviewnya kak !

    BalasHapus
  6. Bukunya bagus ,, aku suka sekali karakter Borno ,, bujang berhati lurus .....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Dia sama Pak Tua tuh kalo udah ngobrol seru bangettt dan "dalem" banget. hehe

      Hapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...