Selasa, 31 Maret 2015

Struck by Lightning

Pengarang: Chris Colfer
Penerbit: Little, Brown and Company
Tahun Terbit: 2012
Halaman: 258
 Harga: Rp. 138.000 di Periplus


Carson Phillips adalah seorang remaja yang salah lahir. Besar di sebuah kota kecil dengan mimpi yang terlampau besar membuat hidupnya sulit. Carson Phillips sejak dulu bercita-cita menjadi seorang jurnalis terkenal yang bekerja di media massa terkenal macam New York Times, the Los Angeles Times, the Chicago Tribune, dan the Boston Globe. Ia selalu melatih dirinya untuk berpikir kritis. Sayangnya, lingkungan sekitarnya di Clover malah menganggapnya mengganggu. Mulai dari ibunya yang pemabuk, yang menganggap Carson lahir karena kecelakaan, sampai teman-teman sekolahnya yang menganggapnya terlalu banyak omong. Bahkan guru bimbingan-konselingnya menganggap mimpi Carson sebagai terlalu muluk. Carson bertekad mendapatkan beasiswa kuliah agar bisa meninggalkan Clover dan meraih impiannya.

Impian meraih beasiswa terganjal persyaratan: Carson harus bisa menerbitkan majalah sastra yang diterbitkan bukan oleh dirinya seorang diri. Bagaimana mungkin ia bisa mengajak teman-temannya untuk berkontribusi untuk majalahnya sedangkan tidak ada yang mau mendengarkannya? 

Lalu, suatu hari Carson mendapatkan jalan keluar: Ia akan melakukan pemerasan kepada teman-temannya, terutama yang populer dan berpengaruh, agar mereka mau menulis untuk majalahnya dan mendukung impian Carson. Dan untuk itu, Carson harus mengetahui aib-aib yang mereka tutup-tutupi.

Berhasilkah Carson menjalankan rencananya?

Miris. Itulah yang saya rasakan membaca kisah hidup Carson. Duh, kalau kalian baca bukunya dan nonton sendiri filmnya, kalian akan merasakan betapa malangnya hidup Carson, dan juga betapa masyarakat bisa begitu jahat menghakimi seseorang hanya karena orang itu memiliki impian yang terlalu besar. Karakter Carson sebenarnya bisa dibilang menyebalkan sih. Dia terlalu blak-blakan dan ambisius. Ia juga kerap merendahkan teman-teman sekolahnya, walau memang tindakan mereka kerap terlihat bodoh dan konyol juga. Tapi di sisi lain, saya iba juga kepadanya, betapa dia tidak bisa mendapatkan wadah yang tepat untuk menyalurkan kreativitasnya, untuk mengembangkan bakatnya, sehingga ia menjadi frustrasi.


Kisah Carson sedikit banyak dapat membuat pembaca berkaca. Seringkali, kita merasa kalau hidup kita biasa-biasa saja, kalau apa yang kita lakukan atau katakan tidak menyakiti siapa-siapa, tidak merugikan siapa-siapa. Namun siapa tahu, ada orang-orang seperti Carson yang tersakiti, bisa oleh tindakan dan ucapan kita, maupun oleh keengganan kita untuk peduli. Dan untuk pembaca yang telah menjadi orangtua atau guru, mungkin kisah Carson dapat menambah kepedulian pembaca terhadap minat dan bakat yang dimilik anak/anak didik pembaca.  




Penuturan Chris Colfer dalam novel ini sebagai Carson sangat mengingatkan saya akan karakter Kurt Hummel di Glee. Sepanjang membaca cerita, saya tidak bisa melepaskan bayangan Kurt dari kepala saya. Untungnya, ketika menonton filmnya, hal itu tidak terasa lagi. Carson di film terasa lebih jantan dan juga didukung oleh fisik Chris Colfer yang lebih berisi.

Filmnya sendiri, karena naskahnya ditulis oleh Chris Colfer, tidak berbeda jauh dari novelnya. Hanya saja, saya heran kenapa adegan pembukanya justru adalah adegan penutup novel, sehingga efek kejutnya agak hilang.

Teman-teman bisa menonton filmnya di Youtube di LINK INI.

Ditulis untuk Baca Bareng BBI Maret 2015 tema ADAPTASI.


1 komentar:

  1. aku baru tau lho buku ini ada filmnya... btw bukuku masih di timbunan jadi aku baca reviewnya masih selewat2 hehehe

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...