Selasa, 05 Januari 2016

Rindu yang Membawamu Pulang

Judul: Rindu yang Membawamu Pulang (Goodreads)
Pengarang: Ario Sasongko
Penerbit: Gagasmedia
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 229
Harga: Rp. 56.000 (bisa beli di Republik Fiksi)



“Jika hari ini ia tak mengubah kebiasaannya, mana mungkin ia bisa melihat sepasang mata gadis Tionghoa itu di atas trem Kota Batavia, yang dengan segala kesukaran ia coba pandang di antara kepala para penumpang.”

Gun pertama kali bertemu Ling di atas trem; sekali-kalinya Gun memutuskan untuk membayar lebih mahal untuk naik gerbong kelas 2, hadiah indah inilah yang didapatnya. Pancaran keberanian dan semangat dari wajah Ling telah menggugah hati Gun. Maka, Gun pun dengan impulsif membuntuti Ling dan mendapati Ling berkunjung ke Toko Kereta Angin “Liem”. Demi mencari cara berkenalan dengan Ling, Gun meminjam kereta angin (sepeda) rusak milik teman sekantornya di Jawatan Pos, Telegraf dan Telepon sekaligus rekan gerakan kemerdekaannya, Masmun. Dari curi dengar percakapan Ling dengan Baba Liem, pemilik Toko Kereta Angin “Liem”, Ling akan datang lagi ke tempat itu keesokan harinya.

Perkenalan Gun dan Ling berlangsung canggung, terutama karena Ling, yang tumbuh besar di lingkungan masyarakat Tionghoa, tidak terbiasa berbaur dengan Bumiputra macam Gun. Namun Gun tidak menyerah dan dengan kemampuannya berbicara, ia berhasil memancing Ling untuk mengungkapkan pikirannya. Percakapan demi percakapan berlangsung. Gun dan Ling saling bertukar pikiran. Ling merasa bahwa kaum Tionghoa di Hindia Belanda tidak pernah mendapat tempat yang layak. Mereka ikut membangun Hindia Belanda tapi bahkan kedudukan pun lebih rendah daripada Jepang yang tidak berkontribusi apa-apa. Selain itu, para Bumiputra membenci Tionghoa yang dinilai sebagai antek Belanda. Ling ingin memajukan rakyat Tionghoa. Gun, yang tergabung dalam gerakan pemuda Betawi dan sedang merencanakan Kongres Pemuda (yang kemudian menerbitkan Sumpah Pemuda) merasa bahwa golongan Tionghoa sudah sepantasnya ikut berjuang bersama Bumiputra, karena mereka juga lahir dan tumbuh di Hindia Belanda. Bagi Gun, tidak ada yang harus dipisahkan antara Tionghoa dan Bumiputra, sama seperti ia dan Ling. Perbedaan etnis bukanlah penghalang untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu merdeka di atas tanah kelahiran mereka sendiri.

"Aku tak benci pada kalian. Aku justru punya perasaan sedih. Kalianlah yang benci pada orang Tionghoa, Gun. Ini yang membuat kami urung membaur dengan kalian. Untuk apa membaur pada orang-orang yang punya pikiran jelek tentang kami? Barangkali kita ini memang beda."

"Aku tidak bisa menyetujui pikiranmu itu. Apa kau tak sadar? Lihat kita berdua ini, Ling. Aku Bumiputra dan kau Tionghoa. Kita bisa saling menerima pendapat."

"Kita ini beda, Gun. Kau dan aku. Kita ini bukanlah orang asing yang tukar pikiran. Coba kau suruh orang di pasar bicara begini. Kupikir tak ada yang sudi."
Namun memang, jurang perbedaan mereka sudah teramat besar. Pemikiran yang sudah tertanam secara mendarah daging begitu sulit diubah. Strategi adu domba penjajah sudah demikian mengakar di benak kedua golongan ini.

Berhasilkah Gun dan Ling meyakinkan golongannya masing-masing untuk bersatu mencapai cita-cita yang sama: kemerdekaan di tanah lahir mereka? Dan, bisakah mereka mempertahankan cinta mereka?

Rindu yang Membawamu Pulang adalah buku yang langsung memikat saya sejak saya melihat cover-nya di internet--kayaknya di twitter penerbit deh. Setting zaman dulu--ada tremnya--dengan si wanita berpakaian cheongsam. Wah, apa ini novel historical fiction Indonesia? Maka, saya pun langsung berniat membelinya. Sayang, waktu itu ternyata buku ini tidak kunjung tersedia di toko buku online tempat saya memesan sampai lamaaaa sekali. Akhirnya order saya batalkan. Pas banget, di IRF, saya malah ditawari penerbit buku ini. Jodoh ini namanya! Hehehe.

Cerita buku ini menarik dan patut dibaca menurut saya, karena bukan saja berisi kisah cinta yang romantis danterlarang, pengarang juga mencoba menyuarakan isi pikiran rakyat keturunan Tionghoa di Indonesia--dulu masih Hindia Belanda--lewat tokoh Ling. Cukup banyak porsi pemikiran mereka yang dituliskan. Walau pemikiran Ling adalah pemikiran seorang keturunan Tionghoa di masa menjelang kemerdekaan Indonesia, sedikit banyak pemikiran Ling tersebut masih mewakili pemikiran para keturunan Tionghoa saat ini. Paling tidak, sejauh yang saya ketahui.

Sebagai seorang anak keturunan Tionghoa dengan muka nggak ada Tionghoanya sama sekali dan pergaulan yang tidak melulu di lingkungan Tionghoa, sedikit banyak saya bisa melihat dan menilai pemikiran orang-orang keturunan Tionghoa terhadap non-Tionghoa atau pribumi dan juga sebaliknya, yang pribumi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Saya tinggal di daerah selatan Jakarta yang sebenarnya masyarakatnya cukup berbaur dan menerima perbedaan. Teman-teman SD saya ada yang keturunan Tionghoa ada yang pribumi, tapi pertemananan kami biasa saja, sampai ketika tahun 1998 ketika saya kelas 2 SMP, saya mendapat kabar kalau warung teman SD saya yang keturunan Tionghoa itu dijarah oleh orang-orang yang biasa menjadi langganannya dan entah mengapa si penjarah ini seperti membenci warga keturunan Tionghoa--padahal sebelumnya hubungan mereka akrab-akrab saja. Lalu, di SMP saya, di mana murid-muridnya kebanyakan keturunan Tionghoa, pun mendadak menjadi sepi. Separuh sekolah pindah ke luar negeri karena kerusuhan itu. Beberapa sampai kini masih tidak kembali ke Indonesia. Di situ, saya mulai mengerti bahwa memang warga keturunan Tionghoa tidak pernah sepenuhnya dianggap sebagai warga negara Indonesia.

Ketika SMA dan kuliah, saya masuk sekolah dan universitas negeri. Berbeda dari sepupu-sepupu saya dari sisi ayah saya yang keturunan Tionghoa, yang kebanyakan kuliah di luar negeri. Pertanyaan yang kerap mereka tanyakan ketika kumpul keluarga adalah, "Di sana banyak nggak Chinese-nya?" dan "Apakah kamu punya teman dekat Chinese?" Syukurlah di SMA dan universitas yang saya masuki, memang banyak keturunan Tionghoanya dan memang ada teman-teman dekat saya yang keturunan Tionghoa. Jadi, waktu itu saya berpikir, ah sepupu-sepupu saya saja yang parno karena memang mereka bergaulnya kebanyakan dengan orang seetnis. Di sini sih tidak ada perbedaan. Saya berpikir, urusan Chinese-Pribumi sudah selesai dengan naiknya Gus Dur sebagai presiden Indonesia dan mulai hidup kembalinya budaya Tionghoa seperti barongsai dan perayaan Imlek. Waktu itu, konflik yang lebih sering terjadi adalah pengeboman tempat ibadah, bukan kebencian terhadap etnis tertentu.

Namun, sampailah saya di masa kini, di mana sepertinya angin-angin kebencian terhadap warga keturunan Tionghoa berhembus kembali. Ketika Bapak Basuki Tjahja Purnama (Ahok) naik menjadi Gubernur DKI Jakarta, isu ini mencuat kembali, selain itu ditambah isu agama. Dan memang, ternyata masalah ini tidak pernah benar-benar hilang sejak dulu mengingat begitu mudah orang tersulut dan ikut-ikutan membenci satu tokoh yang sebenarnya punya kompetensi memimpin hanya karena urusan ini. Ketakutan dan kekhawatiran yang dimiliki warga keturunan Tionghoa, bahwa mereka tidak pernah dianggap sepenuhnya warga negara Indonesia, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan. Pemikiran itu telah ada turun temurun berdasarkan pengalaman yang ada.

Pemikiran Ling adalah pemikiran orang-orang keturunan Tionghoa yang sebenarnya sudah merasa menjadi orang Indonesia, karena mereka lahir dan besar di Indonesia. Mereka punya kerinduan yang sama dengan orang Indonesia yang lain tapi selalu dianggap berbeda. Sedikit masalah bisa membuat mereka dengan cepat dianggap sebagai musuh. Ketakutan selalu mewarnai langkah mereka untuk memajukan bangsa. Sebaliknya, Gun adalah cerminan orang-orang non-Tionghoa yang sadar bahwa perbedaan bukanlah untuk memecah dan bukan untuk dibesar-besarkan. Gun adalah tipe orang yang menurut saya perlu untuk bersuara lebih lantang di negara ini. Ada pula tentu warga keturunan Tionghoa yang sudah apatis, sebagaimana digambarkan oleh tokoh Baba Ling di buku ini, atau tokoh-tokoh pribumi yang juga selalu mengedepankan perbedaan, seperti beberapa teman Gun. Namun tentu hal ini yang harus diubah dan diperbaiki.

Ngomong-ngomong soal Kongres Pemuda yang dibahas di buku ini jgua, toh pada kenyataannya memang ada orang-orang keturunan Tionghoa yang berpartisipasi dalam Kongres Pemuda seperti Kwee Tiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie. Sumpah pemuda sendiri dibacakan di rumah seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong. Jangan lupakan beberapa pahlawan nasional seperti John Lie yang namanya baru saja diresmikan sebagai nama kapal perang Indonesia, dan juga atlet-atlet bulutangkis kita, Susi Susanti, Alan Budikusuma, dan banyak lagi.

Mengenai buku ini secara keseluruhan, saya sangat menyukai cara Ario bertutur. Suara Ling dan Gun terasa begitu nyata, hidup dan begitu pula setting waktunya yang membuat saya seperti benar-benar berada di kota Batavia pada tahun 1920-an dan interaksi Ling dan Gun pun terasa romantis walau tidak berlebihan dan sesuai zamannya. Percakapan mereka soal perjuangan pun terasa menyatu dan natural. Perlu diacungi jempol! Sedikit kritik mungkin pada timing-nya, yang membuat saya sedikit bingung, sebenarnya cerita sudah berjalan dalam berapa tahun dan di akhir, saya merasa sebenarnya jika Ario menyisipkan beberapa bab tambahan, ceritanya bisa lebih mulus dan saya tidak keberatan sama sekali karena Gun dan Ling sudah menyihir saya sejak awal. Dan satu lagi, mungkin Ario bisa menyisipkan footnote terkait istilah pada masa itu. Saya menemukan tulisan "gubermen" untuk "gubernemen" atau pemerintah Belanda saat itu. Ketika saya bertanya apakah ada kesalahan ketik? Ario menjawab bahwa ia menggunakan pelafalan masyarakat Bumiputra masa itu, sehingga "gubermen"-lah yang dipilih. Tapi secara keseluruhan, novel ini bagus banget kok. A must read!

Saya dan Ario Sasongko punya 2 buku Rindu yang Membawamu Pulang (bertanda tangan pengarang dong pastinya!) untuk dibagikan. Tunggu postingan blog ini besok ya, lengkap dengan wawancara saya dengan Ario Sasongko. Semoga kamu salah satu yang beruntung.

10 komentar:

  1. Aku juga udah lama lihat buku ini di beberapa toko buku, tapi belum tertarik membeli. Kalau kisahnya HisFic, sepertinya bakal aku masukkin wishlist. Makasih ya reviewnya, membantu ^^

    BalasHapus
  2. Yuk tambahkan sebagai daftar buku kamu di sini:
    https://www.goodreads.com/book/show/27432853-rindu-yang-membawamu-pulang

    BalasHapus
  3. Nice review, Nana karena baca review ini aku malah jadi penasaran baca bukunya :)

    BalasHapus
  4. baru baca reviewnya udah berasa masuk ke tahun 1920-an, gimana kalo baca full novelnya ya? penasaran!

    BalasHapus
  5. Wah, beda banget dari buku-buku roman terbitan Gagasmedia kebanyakan ya, kayaknya.

    BalasHapus
  6. Berasa masuk dalam cerita setelah baca review ini. Atmosfer tahun 1920-annya kental bgt.
    Makinn keracunan.

    BalasHapus
  7. kata pak Karno, "jas merah. jangan sekali-kali melupakan sejarah." kalimat pak karno ini cocok untuk menggambarkan novel ini, jangan lupa pada sejarah 1920-an, tentang perbedaan etnis antara tionghoa dan pribumi. :D

    BalasHapus
  8. wah! Sungguh resensi yang menarik dari sebuah novel yang menarik pula!
    Resensi ini sungguh menggugah rasa penasaran saya untuk membaca sendiri kisah Ling dan Gun dalam novel Rindu Yang membawamu Pulang.

    BalasHapus
  9. Ciamik banget. Sejarahnya dari sebatas review-nya udah kental. Dan yah di lingkungan saya pun presepsi ini suka timbul-surut. But sebisa mungkin saling menghargai saja lah.

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini