Jumat, 02 Desember 2016

Chairil Anwar - Bagimu Negeri Menyediakan Api

Judul: Chairil Anwar - Bagimu Negeri Menyediakan Api
Penyusun: Tim Edisi Khusus Chairil Anwar (Tempo, 15 Agustus 2016)
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2016
Halaman: 152
Harga: Rp. 50.000 (Bukabuku Rp. 40.000)




Chairil Anwar biasa kita kenal dari pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sebagai pengarang puisi perjuangan yang wajib kita hafal: Krawang-Bekasi, Diponegoro, Aku. Atau dari Ada Apa dengan Cinta. Hehe. Memang hebat pengaruh film AADC itu. Gara-gara film itu, buku Aku yang merupakan skenario film dari Syumanjaya pun diterbitkan ulang dan laris manis. Namun, berapa banyak yang mengetahui kisah hidup sastrawan terkenal ini dan kontribusinya yang lebih dari sekadar puisi-puisinya yang kita kenal itu?

Chairil Anwar - Bagimu Negeri Menyediakan Api merupakan liputan tim majalah Tempo dalam rangka menyambut hari kemerdekaan RI di tahun 2016. Sama seperti liputan khusus tokoh-tokoh lainnya (yang biasanya politikus dan negarawan--Chairil Anwar adalah yang pertama di luar kalangan itu), ada cerita mengenai berbagai sisi kehidupan sang tokoh dan juga pandangan dari orang-orang di sekitarnya.


Buku ini mengungkap hidup Chairil Anwar dengan lengkap, mulai dari masa kecilnya, kepindahannya ke Jakarta, sampai inspirasinya dalam menulis. Menarik mengenal Chairil Anwar dari segala sisi melalui buku ini. Chairil Anwar adalah tipe seniman yang memiliki otak yang selalu resah bergerak dan tak bisa diimbangi oleh keterbatasan fisiknya dan logika orang-orang pada zamannya. Sikap Chairil kadang dinilai janggal dan membuat geleng-geleng kepala. Namun, jiwa patriotismenya tidak perlu diragukan. Mengenai puisi-puisi perjuangannya, ia tidak menulisnya hanya di balik meja, namun ia juga menyaksikan peristiwa yang kemudian dituangkannya dalam puisi tersebut. Krawang-Bekasi, misalnya, ditulis karena pada saat pertempuran tersebut berlangsung, Chairil memang berada di Krawang, bahkan menikahi Hapsah di sana. Selain itu, posisinya sebagai keponakan Sutan Sjahrir juga membuka pintu perkenalannya pada para pejuang kemerdekaan  RI dan gerakan politik pada masa itu. Selain puisi perjuangan, ada juga puisi-puisi cinta yang terinspirasi dari beberapa perempuan yang pernah singgah di hidupnya.

Yang membuat Chairil Anwar bersinar adalah kemampuannya melahirkan karya yang tidak sekadar memotret dan menggelorakan jiwa perjuangan kemerdekaan RI, namun juga kemampuannya mengolah bahasa Indonesia, yang pada saat itu belum semaju sekarang. Pada masa ia hidup, bahasa Melayu dan Belanda masih lebih familier digunakan. Kegilaan Chairil terhadap buku sastra dunia dan perjuangannya mencari kata, diksi, bentuk dan isi terbaik dalam lirik-lirik puisinya membuat karyanya menjadi unggul dan berbeda dari karya-karya Angkatan Pujangga Baru saat itu. Oleh karenanya, Chairil dinobatkan sebagai salah satu pelopor Angkatan '45 menggantikan Angkatan Pujangga Baru dalam dunia sastra Indonesia.

Menggunakan gaya bertutur yang mengalir dan mudah dicerna, buku ini sungguh merupakan pilihan yang tepat dibaca untuk kamu-kamu yang ingin mengenal sosok Chairil Anwar lebih jauh. Kenyelenehannya kerap membuat tertawa dan geleng-geleng kepala, namun akhirnya membuat pembaca maklum karena memang, itulah efek samping dari kreativitas otaknya.

Sayang, gaya hidup yang nyeleneh itulah yang akhirnya membuatnya harus menyerah pada hidup di usia 27 tahun karena komplikasi penyakit. Namun demikian, hal itu mengekalkan imaji dirinya sebagai pemberontak yang tak pernah beranjak tua. Enam puluh tujuh tahun setelah kematiannya di tahun 1949, kebesaran karya-karyanya tidak pernah pudar.

"Chairil menjadi sebuah ikon. Riwayat hidup dan puisi-puisinya memperkaya kita semua. Ia adalah perwujudan sepenuhnya dari pepatah Ars longa, vita brevis. Hidup itu singkat, seni itu abadi." 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini