Senin, 20 Juni 2016

Tanah Tabu

Judul: Tanah Tabu
Pengarang: Anindita S. Thayf
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2009 // ganti cover: 2015
Halaman: 189

Leksi adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang tinggal di Timika, Papua, bersama ibu dan neneknya, Mace Lisbeth dan Mama Anabel atau Mabel. Leksi sangat pintar dan kritis, berbeda dari kebanyakan teman sebayanya, terutama sahabatnya, Yosi, yang masih berpikir bahwa anak perempuan sebaiknya tidak bersekolah tinggi-tinggi dan segera menikah untuk memiliki anak. Leksi tidak pernah habis pikir kenapa Yosi mau menjadi perempuan seperti itu mengingat ibu Yosi yang selalu sibuk dan terlihat lelah dengan empat anaknya--dan akan melahirkan anak kelima--serta ayah Yosi yang gemar mabuk-mabukan dan ringan tangan. Leksi sendiri tumbuh tanpa sosok ayah.

Mabel, nenek Leksi, adalah seorang perempuan tua yang bijaksana. Walau keadaan ekonomi mereka pas-pasan, pengalaman hidup Mabel membuatnya berpandangan jauh ke depan. Ia memang menginginkan Leksi tumbuh mandiri dan kuat. Dulu, Mabel pernah sempat mencicipi dunia luar dan ilmu pengetahuan yang cukup tinggi. Namun, nasib memaksanya kembali menjalani hidup selayaknya gadis-gadis tradisional Papua. Ia tak ingin Leksi mengalami nasib yang sama dengannya.

Keseharian hidup Mabel, Mace Lisbeth, dan Leksi menggambarkan kondisi masyarakat Papua sehari-hari yang masih hidup terbelakang dengan kondisi ekonomi memprihatinkan dan selalu dijadikan mainan orang-orang pendatang yang merasa lebih pintar. Keberadaan perusahaan tambang besar yang tidak pernah menguntungkan mereka, dan janji-janji surga para politikus yang katanya akan membangun Papua apabila partainya menang pilkada. Pada puncaknya, Mabel marah dan memutuskan untuk melawan dengan suaranya. Namun, berhasilkah suara Mabel didengar?

Bagaimana kisah Mabel, Mace Lisbeth, dan Leksi selanjutnya?

Tanah Tabu bercerita tentang keresahan orang-orang Papua akan masa depan tanah moyang mereka. Tanah yang kaya dan sakral kini seenaknya dikeruk oleh orang-orang kulit putih yang tidak memedulikan adat istiadat setempat. Nilai-nilai tradisi pun rusak oleh masuknya budaya baru sehingga boro-boro bisa menjaga tanah moyang, yang ada kaum muda Papua justru ikut-ikutan menyiksa sesama saudara mereka dan merusak alam Papua demi kenikmatan pribadi dan janji-janji manis yang dibawa kaum pendatang. Lewat kisah Mabel dan pemikiran-pemikirannya yang direkam oleh cucunya, Leksi, serta dua binatang peliharaannya, Pum dan Kwee, pembaca diajak untuk melihat kenyataan sosial yang terjadi di Papua. Betapa modernisasi yang tidak disertai dengan kebijaksanaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi lokal dapat menimbulkan kerusakan sedemikian hebat.

Buku yang menarik, dan menjadi alasan saya memilih untuk membacanya. Namun, kalau berdasarkan selera pribadi, saya merasa terlalu banyak yang penulis ingin tuangkan dalam buku setebal (setipis) 189 halaman ini. Begitu banyak isu yang ingin penulis tumpahkan sehingga hasilnya terasa setengah-setengah. Di awal hingga pertengahan cerita, saya merasa penulis ingin memfokuskan ceritanya pada kondisi sosial masyarakat Papua yang miskin dan juga ketidakadilan yang dirasakan para perempuan Papua. Baik Mace Lisbeth, Mabel, maupun Mama Helda--ibu Yosi--merupakan para perempuan korban ketidakadilan kaum lelaki dan tradisi suku yang mengagungkan lelaki ketimbang perempuan. Mereka adalah perempuan yang dipaksa bertahan hidup dalam kemiskinan dan kesulitan untuk mendapat penghasilan yang layak. Namun, tiba-tiba, masalah politik mulai muncul dalam bentuk kampanye pilkada, lalu ada pula isu pemberontakan yang menimpa Mabel. Untuk dua isu terakhir, rasanya jadi seperti tempelan, seakan-akan penulis bermaksud menulis buku sekuel yang lebih mengupas isu-isu ini, tapi ternyata, sejak terbit pertama kali sampai saat ini, lanjutannya tidak kunjung terbit.

Selain itu, saya merasa penggunaan sudut pandang Leksi, Pum, dan Kwee dalam buku ini terasa membatasi penjelasan mengenai isu-isu yang diangkat karena tokoh sentral yang diangkat dalam novel ini adalah Mabel. Pikiran kritis Mabel-lah yang selayaknya dituangkan dengan lebih banyak. Penggunaan sudut pandang Leksi, Pum, dan Kwee hanya membuat pembaca mengenal Mabel dari sudut pandang anak usia 7 tahun, seekor anjing, dan seekor babi. Akan lebih baik jika Mabel juga mendapatkan giliran untuk menyuarakan pikirannya sendiri.

Kondisi masyarakat Papua memang sesuatu yang sudah menjadi permasalahan bangsa ini sejak lama dan memang membutuhkan perbaikan karena mereka adalah manusia yang pastinya memiliki kedudukan yang sama dengan manusia lain di belahan lain Indonesia. Apa yang menjadi hak mereka tentu harus diberikan. Untungnya, di masa pemerintahan Presiden Jokowi, sudah tampak ada perbaikan di mana akses transportasi sudah mulai dibangun. Misi pemerataan pembangunan yang diprogramkan Presiden Jokowi tentu merupakan hal yang baik dan patut didukung. Kiranya, kondisi saudara-saudara di Papua saat ini dan di masa depan akan menjadi jauh lebih baik dibanding apa yang terekam dalam buku ini.

1 komentar:

  1. Padahal idenya udah bagus ya, mengangkat konflik di daerah nun jauh di sana. Tapi, kadang memang agak sulit untuk mengurai ide biar ga numpuk, tapi tetep sih saya penasaran jadinya.

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini