Senin, 28 Desember 2015

Baca Bareng BBI: Last Forever

Judul: Last Forever
Pengarang: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2015
Halaman: 377
Harga: Rp. 69.000 (diskon jadi Rp. 51.750 di bukabuku)


Lana Hart adalah wanita pencinta kebebasan. Ia sangat mencintai pekerjaannya sebagai produser film dokumenter di National Geographic dan kerap berjalan-jalan ke daerah-daerah eksotik dan terpencil untuk membuat film dokumenter. Ia berdomisili di Washington tapi merasa Indonesia adalah tempat singgah favoritnya. Indonesia, tempat Samuel Hardi berada.

Samuel Hardi adalah seorang genius di dunia perfilman dokumenter. Hanya dia yang bisa menghadapi Lana. Samuel Hardi juga memuja kebebasan seperti Lana dan enggan terikat dengan wanita. Sifatnya dingin dan sinis, tapi membuat Lana selalu ingin menggodanya. Lana selalu tinggal beberapa saat di tempat Samuel dan menghabiskan malam yang bergairah dengan Samuel.

Suatu hari, setelah persinggahannya yang terakhir, Lana mendapat tugas untuk membuat film dokumenter tentang Flores dan untuk itu, Lana harus bekerja sama dengan Hardi, studio milik Samuel. Ia dan Patrick, asistennya, pun berangkat ke Jakarta untuk kemudian melanjutkan ke Flores. Sayang, sesuatu yang tidak direncanakan tiba-tiba terjadi. Lana mengandung anak Samuel.

Kehadiran seorang anak tidak pernah ada dalam rencana hidup Lana. Ia tidak ingin mengulangi nasib ibunya yang harus meninggalkan impiannya demi hidup berkeluarga. Dan terutama, Lana tahu Samuel juga berpikiran sama dengannya. Tapi, bagaimana dengan bayi yang sudah telanjur dikandungnya ini?

"Kenapa kau membenci pernikahan?"
"Pernikahan tidak adil bagi perempuan."
"Apa? Itu tidak benar,"
"Kau tahu itu benar. Menurutmu, berapa persen perempuan yang harus melepaskan pekerjaannya karena pernikahan? Kalian, para lelaki, tidak cuma memberi cincin. Pada saat bersamaan, kalian memberi peran ganda kepada perempuan, kepada kami."


Dalam bagian "Thanks to" buku Last Forever ini, Windry Ramadhina menulis bahwa ia menulis novel ini agar bisa mengucapkan selamat tinggal pada kegelisahannya. Saya sih nggak tahu persis apa kegelisahan yang dimaksud, tapi dari membaca buku ini, saya merasa kalau tema yang cukup dominan adalah mengenai perubahan yang dialami seorang wanita dalam menjalani kodratnya sebagai ibu. Topik yang cukup menarik untuk dibahas, terutama kalau mengingat perdebatan mengenai Ibu Bekerja vs Ibu Rumah Tangga yang sepertinya tidak ada habis-habisnya di media sosial. Sebagai pengguna Facebook (yang masih enggan pindah ke Path seperti kebanyakan teman saya), saya cukup sering melihat pembahasan ini lalu lalang di timeline. Yang paling hits sih screencaps-nya Felix Siauw yang seperti menyindir ibu yang lebih lama di kantor ketimbang di rumah--yang nggak akan saya upload di sini btw--yang membuat beberapa teman saya yang kebetulan seorang ibu yang bekerja, menjadi emosi.  

Lewat tokoh Lana, yang diciptakan Windry Ramadhina sebagai sosok yang begitu mencintai pekerjaannya yang membutuhkan stamina serta totalitas tinggi, pergumulan seorang wanita antara mempertahankan hidup yang dicintainya yang telah dimilikinya dengan susah payah dengan perubahan besar yang akan terjadi jika ia suatu saat memiliki anak dan berkeluarga tergambar jelas. Belum lagi, Lana memiliki gambaran tentang masa depan yang dinilainya suram itu melalui sosok ibunya, yang dimengerti Lana bagaikan kehilangan nyawanya setelah memutuskan untuk berkeluarga. Lana tidak ingin menjadi seperti ibunya. Jadi, bayangkan saja betapa ketakutannya dia ketika mendapati dirinya hamil. Namun, hidup ini memang merupakan sebuah proses yang tidak ada hentinya. Walau diawali keterpaksaan, Lana pun akhirnya mulai belajar untuk menerima kenyataan dan bisa melihat bahwa apa yang ia takuti belum tentu akan menjadi kenyataan. 

Tokoh Samuel sebagai pendamping Lana, di lain pihak, pada awalnya juga tidak siap mengetahui kondisi Lana. Samuel yang selalu mengagungkan kebebasan hidup dan begitu percaya diri kini harus menghadapi apa yang tidak pernah ia inginkan sebelumnya: seorang anak. Memiliki seorang anak berarti ia harus siap hidup terikat, dan bertanggung jawab atas satu nyawa lagi selain nyawanya sendiri. Ada kebingungan yang tergambar jelas, tapi saya sungguh bersyukur dia tidak pernah meminta Lana untuk menggugurkan kandungannya. Malah, usahanya untuk memberikan yang terbaik untuk Lana di tengah segala kecanggungan dan gengsinya terasa manis.

Membaca interaksi Lana dan Samuel yang terus berkembang dari awal hingga akhir cerita terasa menyenangkan, walau pada awalnya--sejujurnya--dua tokoh ini bukanlah orang yang saya suka. Serius, di dunia nyata sih tentu saya akan mencibir orang-orang macam Lana dan Samuel ini yang begitu larut dalam pekerjaan mereka dan seakan-akan memakai kacamata kuda dalam memandang dunia. Seakan-akan tidak ada yang lebih penting di dunia selain pekerjaan mereka. Tapi lama kelamaan, pandangan mereka meluas dan mereka menjadi lebih bijaksana.

Tokoh favorit saya dalam novel ini adalah Patrick, asisten sekaligus kamerawan Lana, yang begitu sabar tapi juga tak putus asa mengingatkan bosnya yang keras kepala dan nyeleneh itu. Patrick juga begitu gentleman terhadap Lana. Dia tipe family man banget! Walau katanya matanya kecil dan tidak proporsional dengan wajahnya, rasanya saya bakal memilih Patrick deh walau disodori Samuel. Haha!

Selain tokoh dan tema ceritanya, saya juga sangat menikmati gambaran sineas dokumenter yang diangkat Windry Ramadhina. Kebetulan saya senang benget nonton National Geographic, terutama untuk dokumenter yang berhubungan dengan manusia dan kebudayaan, dan saya selalu kagum dengan orang-orang yang berhasil membuat dokumenter yang begitu cantik dan enak ditonton.

Sebagai penutup, Last Forever merupakan bacaan yang menarik untuk diikuti. Isu yang diangkat begitu dekat dengan kehidupan kita dan mungkin akan membantumu melihat kehidupan dengan cara pandang yang baru.


Diikutkan dalam Baca Bareng BBI bulan Desember 2015






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini