Pengarang: Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2015 (diterbitkan pertama kali sebagai cerita bersambung di harian Republika tahun 1990
Halaman:165
Harga: Rp. 45.000 (Rp. 36.000 di bukabuku)
Amid adalah pejuang kemerdekaan Indonesia. Namun, tidak tergabung dalam tentara resmi Indonesia yang disebut tentara Republik. Pada tahun 1946, Amid berguru silat pada Kiai Ngumar ketika gurunya itu memanggilnya dan mengatakan kalau berjuang melawan tentara Belanda adalah wajib hukumnya bagi orang Islam. Maka Amid dan Kiram, temannya, pun bergabung membantu tentara Republik dengan nama barisan pemuda. Kiram tidak seperti Amid yang terpelajar dan kalem. Ia tidak puas hanya menjadi pembantu tentara. Ia ingin angkat senjata. Maka ia membujuk Amid untuk melakukan serangkaian tindakan heroik--bahkan sadis--demi mendapatkan "muka" dari tentara Republik.
Masalah mulai muncul ketika teman-teman seperjuangan Amid: Kiram, Jun, Jalal, dan Kang Suyud, merasa bahwa tentara Republik telah disusupi komunis. Mereka, sebagai orang-orang yang berjuang dalam jalur Islam, merasa tidak sejalan dengan tentara Republik. Maka mereka bergabung dengan tentara Hizbullah. Kebencian mereka akan tentara Republik semakin memuncak ketika mereka dijebak dan malah ditembaki ketika ada berita bahwa tentara Republik akan merekrut tentara Hizbullah. Amid, yang tadinya ingin segera hidup damai, jadi terpaksa bergabung dengan kelompok Darul Islam dan hidup sebagai musuh Republik.
Di tengah ketidakpastian nasib dan hidup bergerilya di hutan-hutan, Amid teringat akan istri dan calon anaknya. Impian Amid hanyalah hidup tenang bersama keluarganya. Dan apabila akhirnya harus berjuang pun, ia ingin menjadi bagian dari tentara Republik yang membela Indonesia di jalur yang resmi, bukan justru dicap pemberontak seperti ini.
Setelah membaca kisah Bekisar Merah yang mengangkat kisah seorang perempuan lugu yang terjebak dalam pusaran permainan politik tingkat atas, kini saya membaca kisah jebakan lain yang disajikan Ahmad Tohari. Kini, kisahnya adalah tentang Amid, si pemuda berhati dan pikiran lurus yang tanpa sengaja terjerumus menjadi pemberontak bangsa yang ia cintai dan ia ingin bela.
Salah satu yang membuat saya menggemari karya-karya Ahmad Tohari--selain deskripsi tempat yang teramat detail dan indah, yang sayangnya tidak begitu di novel ini--adalah kemampuannya mengangkat kisah-kisah bersejarah dari sudut pandang yang lain. Pemberontakan DI/TII, yang dipimpin oleh SM Kartosoewirjo sejak tahun 1942 sampai 1962 yang kita kenal adalah sebuah gerakan makar terhadap pemerintahan yang sah dan tentu saja membahayakan negara Indonesia yang waktu itu baru berdiri. Begitu banyak korban yang jatuh demi perjuangan mendirikan negara islam di Indonesia. Namun seperti biasanya, berapa orang sebenarnya anggota Tentara Islam Indonesia ini yang benar-benar mati demi membela ideologinya, tidak ada yang tahu dengan pasti. Bagaimana perasaan tentara-tentara kecil seperti Amid, tidak ada yang tahu. Karena biasa kisah yang diangkat dan dibagikan cara berpikirnya hanya tokoh-tokoh pentingnya saja.
Lewat Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari mengangkat kisah Amid, si pemuda lugu yang sebenarnya punya cita-cita sederhana untuk membantu perjuangan Indonesia yang sangat ia cintai, namun kondisi membawanya ke jalan yang salah dan sulit untuk memutar kembali ke jalan yang benar. Lewat Amid pula, terlihat bahwa situasi saat itu sungguh sangat chaos. Setelah Belanda pergi dari Indonesia, terjadi perang saudara, di mana beberapa kelompok yang berbeda ideologi yang tadinya berjuang bersama demi memerdekakan Indonesia, kini berbenturan dan mencoba memenangkan ideologinya sebagai ideologi negara yang baru berdiri ini. Sungguh sulit membedakan mana lawan mana kawan, karena semua memiliki tampilan fisik yang sama. Dan akhirnya, setelah segala pengorbanan yang Amid dan kawan-kawannya lakukan, kini mereka malah harus berlari dan bersembunyi jika tidak ingin hidup mereka berakhir sia-sia.
Ini bukanlah kisah yang penuh adegan tembak-tembakan yang seru, tapi lebih kepada pemikiran Amid seputar perjuangannya. Pertanyaan Amid akan nilai perjuangannya, kerinduan Amid untuk hidup tenang dan damai, dan juga dilema Amid antara ingin berpisah dengan teman-temannya yang berbeda ideologi atau mempertahankan kesetiakawanannya. Semua dibalut begitu menyentuh dengan gaya tulisan khas Ahmad Tohari yang sederhana dan lugas.
Dan, tentu saja, kehebatan Ahmad Tohari yang lain, tulisannya tak pernah ketinggalan zaman. Walau pemberontakan DI/TII telah lama berakhir, pesan moralnya masih relevan sampai saat ini, di tengah berkembangnya kebebasan berpikir dan berpendapat di negara ini, yang justru seringkali terasa menjurus ke perpecahan. Lewat buku ini, Ahmad Tohari mengingatkan betapa berbahayanya perang saudara, di mana kita tidak bisa membedakan mana lawan mana kawan, sehingga kita harus selalu menjaga toleransi terhadap saudara-saudara sebangsa kita dan jangan mudah tersulut oleh hasutan dari pihak-pihak yang tidak jelas.
Wah sepertinya lagi musim novel-novel militer, ya seperti Tiga Sandera Terakhir dan Lingkar Tanah, Lingkar Air. Belum pernah baca novel militer, mungkin ini saatnya keluar dari zona nyaman. Aku rasa ini pertanda yang bagus akan literatur lokal yang mulai lebih berwarna setelah bertahun-tahun demam romance, horor atau novel-novel nuansa K-Pop. Semoga makin banyak penulis-penulis lainnya yang muncul membawa angin segar bagi pembaca seperti kita.
BalasHapusMantap reviewnya, mbak :)
Terima kasih :D
HapusIni sebenernya novel lama diterbitkan lagi, Mbak. Novel-novel Ahmad Tohari memang satu persatu sedang diterbitkan ulang dengan cover lebih cakep.
Genre thriller-action seru lho, coba baca Mbak!