Sabtu, 09 Mei 2015

Opini Bareng: Realita Sosial




Jumpa lagi di Opini Bareng... dengan tema bulan ini adalah Realita Sosial!!!

Sebenarnya, untuk tema ini, Divisi Event BBI memberi ruang lingkup cukup luas. Intinya sih, seberapa dekat sih buku-buku yang kamu baca dengan kehidupan nyata. Tapi, supaya lebih terarah dan nggak ngalor-ngidul, saya memilih satu topik spesifik yang cukup sensitif di Indonesia, tapi saya rasa perlu dibahas. Nggak dengan cara yang berat tentunya, mengingat saya juga bukan penggemar bacaan yang berat-berat (baik konotatif maupun denotatif).

Kali ini saya ingin membahas arti beragama dilihat dari dua novel karya pengarang favorit saya, Miranda Kenneally, yaitu Stealing Parker dan Things I Can't Forget. Sebenarnya, dua novel ini merupakan bagian dari serial Hundred Oaks yang sampai saat ini sudah terbit 6 buku, tapi hanya dua novel ini yang bersinggungan dengan masalah agama dan...sejujurnya cukup menimbulkan perdebatan juga di hati dan otak saya ketika membacanya. Miranda Kenneally menggunakan sudut pandangnya sebagai orang yang tidak menjalankan agamanya secara aktif, namun bercerita mengenai orang-orang komunitas gereja. Dan buat saya, sebagai orang yang cukup lama aktif di gereja, ada pandangannya yang saya nilai salah. Tapi, justru, lewat kacamatanya yang seperti itu, saya pun bisa lebih memahami cara pandang orang-orang yang berada dalam posisi Miranda Kenneally terhadap orang-orang yang aktif di agama tertentu seperti saya. 



RINGKASAN CERITA:

Stealing Parker bercerita tentang seorang cewek bernama Parker yang keluarganya hancur setelah ibunya melarikan diri bersama pasangan lesbiannya. Yep, setelah bertahun-tahun menikah dan punya anak, si ibu baru sadar kalau dia penyuka sesama jenis. Parker, yang tomboy dan punya perawakan agak macho karena dia atlet softball, mulai merasa takut kalau-kalau ia juga seperti ibunya. Maka dia berhenti softball dan mulai "bermain-main" dengan cowok-cowok di sekolah. Parker dan keluarganya adalah aktivis gereja dan sangat religius. Namun, ketika skandal ibu Parker terjadi, gereja malah menjauhinya dan mencap jelek keluarga Parker. Parker pun merasa sangat berdosa dan mempertanyakan peran Tuhan dalam hidupnya. Kemudian, ia jatuh cinta lagi dengan seorang pria. Sesuatu yang tentu tampak bagus, kalau saja pria itu bukan seseorang yang terlarang untuknya.

Sementara itu, novel Things I Can't Forget bercerita mengenai Kate, seorang cewek baik-baik yang taat beragama. Saking taat beragamanya, dia jadi menyebalkan dan sok suci. Bahkan sahabatnya juga merasa terlalu dihakimi oleh Kate dan memutuskan persahabatan. Ketika bertugas sebagai mentor di Perkemahan Musim Panas Rohani, ia mendapati teman-teman sesama mentornya--termasuk Parker dari Stealing Parker--tidak berpikiran seperti dirinya. Kate pun mempertanyakan, apakah arti ketaatan beragama sebenarnya.



OPINI SAYA:

Sebenarnya saya memaksudkan tulisan ini untuk bersifat universal, bisa dibaca dan bisa bermanfaat untuk teman-teman semua agama. Tapi, karena saya memeluk agama Kristen, saya mencoba menceritakannya dari sudut pandang saya, dari pengalaman saya, supaya lebih akurat dan tidak sok tahu dengan ajaran agama lain.

Saya merasa tertampar ketika membaca kedua novel ini karena pada saat itu saya cukup aktif di gereja; saya aktif jadi pengurus di Komisi Pemuda, aktif di orkes keroncong gereja, dan di kepanitiaan gereja lainnya. Sebenarnya saya tidak pernah menjadi orang seperti Kate, yang selalu merasa dirinya paling benar dan mengucilkan atau membenci orang yang saya anggap tidak menjalankan agama dengan baik. Saya masih bisa bersifat terbuka, apalagi dengan teman-teman yang tidak seiman dengan saya. Namun ada beberapa waktu di mana saya menilai rendah dan terganggu dengan kelakuan teman yang saya nilai tidak sesuai dengan apa yang seharusnya kami lakukan.

Pernah saya punya seorang teman sesama aktivis gereja yang selalu bercerita tentang hidupnya yang dramatis, kadang kala, kami sampai menangis mendengarnya dan menghiburnya, memberinya kekuatan dengan mendoakannya. Sampai kami menemukan kalau dia ternyata berbohong. Dan bahkan setelah kami menanyakan kenapa ia berbohong dan ia berjanji tidak akan mengulanginya, ia masih tetap melakukannya. Sampai kami akhirnya sebal dan setiap ia ingin bercerita, kami secara refleks langsung menjauhinya bahkan menegurnya. Kini, teman saya itu pindah gereja dan bahkan pernah ia malah lari ketika berpapasan dengan saya di jalan (mungkin karena takut saya omeli). Padahal, sebenarnya kami tahu alasan dia suka berbohong. Ia merasa rendah diri di pergaulan karena umurnya sudah cukup tua dibanding kami dan pendidikannya tidak terlalu tinggi. Selain itu, ada latar belakang keluarganya yang membuat ia cukup bermasalah secara psikologi.

Pernah juga, ketika ada seorang teman kami aktivis gereja yang ingin menikah dengan orang berbeda agama (tapi keduanya tidak berencana pindah agama). Sebenarnya untuk masalah ini, saya tidak banyak ikut campur karena saya toh juga hidup di keluarga besar yang banyak terjadi pernikahan beda agama dan saya lihat kehidupan mereka baik-baik saja. Waktu itu rasanya setiap orang berusaha menghalangi dia untuk mewujudkan niatnya. Begitu kuatnya niat menghalangi sampai-sampai lupa mendengarkan pendapat dan pemikiran yang bersangkutan. Dan saya waktu itu tidak berbuat apa-apa untuk menolongnya. Singkat cerita, akhirnya teman saya itu malah menghilang dari gereja dan tidak ada kabar sampai saat ini. Entah dia masih beribadah atau tidak, masih beragama Kristen atau sudah pindah agama.

Masalah yang saya ceritakan mungkin terlihat simpel dan tidak sebanding dengan beberapa masalah yang terekspos media massa. Namun tetap terasa menyedihkan ketika hal-hal semacam ini terjadi. Menjalankan agama seharusnya membawa kebaikan dan damai sejahtera buat kita maupun orang-orang di sekitar kita. Selain itu, juga bersifat pribadi. Ketika kita menemukan teman yang "melenceng", memang tugas kita untuk mengingatkan dan menasehati, namun memastikan ia "kembali ke jalan yang benar" bukanlah tugas kita, karena dia sendiri yang harus mengalami dan merasakan pentingnya untuk "kembali ke jalan yang benar" itu, tentu dengan bantuan Tuhan yang kita imani tidak pernah meninggalkan hambaNya. Dengan begitu, ia bisa berubah menjadi orang yang menjalani agamanya dengan lebih baik secara permanen. Jika pun dia akhirnya tidak berubah, maka tidak seharusnya kita menjauhinya atau memutuskan hubungan.

Dan dalam hubungan dengan orang-orang pemeluk agama lain di sekitar kita, yang kita bisa lakukan hanyalah menjadi teladan lewat amalan ajaran agama kita, bukan mengajak orang itu berdebat agama sehingga kita bisa membandingkan agama kita dengan agama mereka. Lebih parah lagi, memaksa orang lain untuk taat dengan peraturan agama kita. Orang-orang beragama lain bukanlah ancaman untuk kita kalau kita cukup beriman dengan ajaran agama yang kita anut.

Indonesia adalah negara beragama dengan 6 agama utama dan banyak agama atau kepercayaan lainnya. Tentu banyak perbedaan cara berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Banyak interaksi akan mengalami pergesekan terkait hal ini. Namun, memaksakan ajaran agama kita kepada orang lain tidak akan merekatkan kita, tidak juga membuat orang itu pindah ke agama kita. Yang sebaiknya kita lakukan adalah menjalin komunikasi; mendengarkan pemikiran mereka dan juga menyampaikan pemikiran kita secara baik-baik, supaya tercipta pengertian yang baik. Tentu semuanya harus dimulai dengan pengertian dan pengamalan yang baik dari ajarang agama masing-masing.

Itulah pelajaran yang saya dapat dari dua buku dari pengarang favorit saya. Cukup relevan dengan kondisi nyata yang saya lihat saat ini. Sungguh menyenangkan jika sebuah bacaan dapat membuka wawasan kita, tidak hanya sekadar lewat dan menjadi hiburan.

Apakah ada buku yang memiliki dampak sama terhadapmu? Silakan dibagikan juga ya. Bisa tinggalkan link ke pos opini kamu di komentar posting ini.




1 komentar:

  1. Sering banget nemu isu semacam ini di buku impor/terjemahan, memang sepertinya ada sebagian orang yang ke-gereja-kalau-ada-perlu atau untuk 'formalitas' aja ya. Tapi ada juga sih yang terus menunjukkan bahwa setelah kembali ke gereja, kehidupannya jadi lebih baik.

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini