Sabtu, 12 Oktober 2013

Slammed

Judul: Slammed (Cinta Terlarang)
Pengarang: Colleen Hoover
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012 / 2013 (terjemahan Indonesia)
Halaman: 337
Harga: Rp. 55.000 (di Bukabuku Rp. 46.750) // e-book di Gramediana Rp. 39.000



Setelah kematian ayahnya, Layken harus pindah rumah dari Texas ke Ypsilanti, Michigan, bersama ibu dan adiknya, Kel. Awalnya Layken, atau biasa dipanggil Lake, merasa pesimis akan menikmati kehidupan barunya. Namun semua berubah sejak ia bertemu tetangga barunya, Will. Will tinggal hanya berdua dengan adiknya, Caulder. Mereka yatim piatu. Dalam sekejap, Layken merasa tertarik dengan Will, begitu juga sebaliknya sehingga mereka pun berkencan.Will mengajak Layken menonton pertunjukan Slam, yaitu pembacaan puisi, di sebuah pub. Ternyata, Will adalah salah satu penampil di sana dan Layken dibuat terpukau dengan pertunjukan Slam itu.

Di hari pertama sekolah, Layken menemukan bahwa Will ternyata adalah gurunya. Perasaan cinta keduanya pun harus ditutupi rapat-rapat karena tentu seorang guru tidak dapat berkencan dengan muridnya. Perasaan Layken menjadi kacau ketika Will memutuskan untuk menjauhkan Layken dari dirinya. Namun, sekuat-kuatnya Will dan Layken berusaha menjauhi satu sama lain, mereka bertetangga dan saling membutuhkan. Apalagi adik-adik mereka sudah bersahabat. Maka interaksi antara Will dan Layken pun tidak terhindarkan. 

Kejadian bertambah rumit ketika ibu Layken ternyata memiliki rahasia yang akan menghancurkan keluarga Layken sekali lagi. Di tengah rasa putus asanya, hanya Will yang dapat menjadi pelarian Layken. Namun, Eddie, sahabat baru Layken, kemudian menangkap basah Layken saat sedang tidur di rumah Will setelah bertengkar dengan ibunya.

Bagaimana kisah Lake dan Will selanjutnya? Rahasia apa yang disimpan oleh ibu Lake?

Slammed sebenarnya adalah buku yang telah lama saya ingin baca. Walau temanya secara umum sudah sering diangkat, yaitu kisah romantis (dan ilegal) antara guru dan murid, namun Slammed menjanjikan satu hal baru, yaitu dengan dimasukkannya slam poetry ke dalam cerita, sebagai sarana para tokohnya mengungkapkan isi hati mereka. Inilah yang membuat saya paling penasaran. Maka, ketika akhirnya novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan langsung dua jilid dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, saya pun segera membeli e-book-nya (dan Point of Retreat) di Gramediana untuk dibaca.

Sekedar informasi, gambaran mengenai slam poetry dapat kamu baca di sini. Agak mirip stand up comedy gitu ya gak sih aturan mainnya?

Sayang, menurut saya kisah Slammed tidak se-'wah' yang saya harapkan. Baik dari segi keseluruhan cerita maupun penokohan, rasanya nanggung.

 Dari segi cerita, saya melihat bahwa sebenarnya pesan utama dalam cerita ini adalah mengenai mengatasi kehilangan dan menghadapi kematian, pesan yang sangat baik untuk disampaikan kepada pembaca baik remaja maupun dewasa. Baik tokoh Will maupun Layken sama-sama pernah mengalami kehilangan orang tua. Selain kedua tokoh utama, ada pula tokoh Eddie, sahabat Layken di sekolah, yang sejak kecil harus berpindah-pindah orang tua asuh karena kedua orang tua aslinya tidak bisa merawatnya. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana cara supaya pesan ini bisa sampai ke pembaca usia muda tanpa jatuh membosankan? Dibuatlah karakter Layken yang jatuh cinta dengan Will, lelaki tetangga baru yang ternyata gurunya di sekolah. Kisah cinta terlarang selalu menarik untuk dibaca, bukan? Ditambah lagi bumbu slam poetry sebagai sarana penyampaian perasaan kedua tokoh utama untuk membuat kisah lebih unik. Nah, di bagian pertunjukan slam poetry ini, saya merasa agak mirip Ada Apa dengan Cinta. Ingat adegan Cinta membawakan puisi Rangga dengan backsound petikan gitar Anda 'Bunga' di sebuah kafe?

Karena yang jadi fokus cerita bukanlah kisah cinta terlarang Will dan Layken, maka di bagian ini, terasa kurang maksimal penggarapannya. Tumbuhnya perasaan cinta antara Layken dan Will terlalu cepat. Instan. Dan agak bodoh juga sih menurut saya kalau setelah berkencan dan hidup bertetangga kok ya Layken dan Will bisa sama-sama tidak bertanya: "Kamu kerja apa sih? Hah, guru SMA? Kok bisa sih? Kan kamu masih 21 tahun Will?" "Kamu kuliah di mana, Layken? Eh... masih sekolah toh... Di mana sekolahnya? Owalaah itu sih tempat saya mengajar." dan yang mengganjal lagi, kok ya bisa-bisanya ibunya Layken dengan mudah menilai Will sebagai orang baik dan langsung menyodorkan Layken untuk pergi kencan dengannya? Iya sih mereka tetangga, tapi hey.. di sini sih sudah beberapa kali lho terjadi kalau ternyata tetangga kita adalah teroris yang suka bikin bom! Kalau kata Bang Napi tuh ya: "Waspadalah! Waspadalah!"

Lalu.. di tengah seru-serunya masalah Layken yang hatinya teraduk-aduk gara-gara cowok yang ia sukai ternyata main tarik ulur membuat perasaan Layken seperti naik jetcoaster, kadang di atas, kadang di bawah, kadang berputar 360 derajat.. Nah di sini saya merasa kok ya si Will ini kena sindrom Edward Cullen (baca: "Aku bahaya buat kamu, jadi kamu jauh-jauh ya dari aku.. Etapi aku nggak bisa jauh dari kamu deng.. Gimana dong kita jadinya?"), Colleen Hoover langsung menjatuhkan bom berikutnya yaitu.... rahasia. Ya pokoknya berhubungan dengan pesan utamanya itu tadi deh.. Nah, untuk bagian yang ini, lagi-lagi saya merasa tidak tergali dengan cukup dalam. Kurang emosional. Dan ada rentang waktu yang dipotong begitu saja. Duuh.. Paling nggak suka deh cerita model begini, yang giliran pas adegan penting malah dipotong lalu keluar tulisan: "Setahun kemudian.."

Tokoh Layken terasa datar buat saya. Tidak ada yang menonjol, kecuali mungkin kebiasaan dia untuk beberes rumah ketika emosinya tidak stabil. Boleh juga tuh buat pas lebaran *krik krik*. Tokoh Will malah terasa menyebalkan. Kenapa juga dia jadi parno sendiri pas tahu Layken adalah muridnya? Mereka baru sekali kencan toh, belum pacaran toh? Kok sampai harus menjaga jarak segitunya? Lagipula kenapa juga kalau sampai satu sekolah tahu kalau mereka dekat, kan mereka tetangga? Kan mereka suka titip-titipan adik? Tokoh ibu Layken, Julia, seperti sudah saya bilang sebelumnya, juga tidak masuk akal jalan pikirannya. Mungkin yang lumayan saya suka hanya Eddie, si sahabat. Adegan ketika akhirnya ia berulang tahun ke-18 dan meraih kebebasannya merupakan adegan yang sangat mengharukan buat saya.

Lalu mengenai penerjemahan. Beberapa teman bilang terjemahannya bagus, terutama di bagian puisi-puisinya. Saya setuju dengan hal ini. Penerjemahannya memang baik dan enak dibaca. Namun untuk bagian puisinya, saya masih punya keinginan untuk tahu syair aslinya supaya bisa lebih meresapi maknanya.

Akhir kata, beberapa teman blogger menyukai buku ini dan di Goodreads, rating buku ini pun cukup tinggi. Saya hanya bisa mengatakan kalau review saya ini tentunya saya buat hanya berdasarkan selera saya. Inilah kesan yang saya dapat setelah membaca ceritanya. Jadi, jika memang teman-teman sudah berminat untuk membaca novel ini, jangan jadi batal karena baca review ini ya.. Silahkan nikmati dan tentukan penilaian kamu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini