Jumat, 09 Agustus 2013

Swiss: Little Snow in Zurich

Judul: Swiss : Little Snow in Zurich
Pengarang: Alvi Syahrin
Penerbit: Bukune
Tahun Terbit: 2013
Jumlah Halaman: 297
Harga: Rp. 50.000 (di Bukabuku jadi Rp. 40.000)


"Kau suka memotret?"

Itulah awal percakapan dan pertemanan Yasmine dengan Rakel. Yasmine, seorang gadis dari Indonesia yang baru pindah ke Zurich, Swiss, bertemu seorang pemuda misterius bernama Rakel ketika sedang mengambil foto pemandangan di Danau Zurich. Awalnya ia hanya mengamati lelaki itu, namun sejak Rakel menyapanya, hubungan mereka menjadi dekat. Yasmine suka dengan candaan Rakel dan cara lelaki itu mengambil fotonya dari angle-angle yang.. tidak biasa. Rakel lalu mengajak Yasmine memenuhi lima hal dalam daftar yang ia miliki:

  1. Ice skating selama lima jam penuh dan memotretnya;
  2. Keliling Distrik I Zurich dan makan cokelat sebanyak-banyaknya;
  3. Menginjakkan kaki di puncak Uetliberg;
  4. Keliling Zurich dan menolong orang-orang yang butuh bantuan;
  5. Pukul 3 pagi di Danau Zurich, bercerita panjang lebar sampai matahari terbit.
 Sebelum kelima hal tersebut terpenuhi, Yasmine mendapati kenyataan kalau ternyata Rakel mengenal dua sahabatnya di sekolah, Dylan dan Elena, dan bahwa mereka memiliki pengalaman buruk di masa lalu, yang membuat Rakel membenci Dylan. Dylan sendiri sebenarnya diam-diam mencintai Yasmine dan tidak rela Yasmine jatuh ke tangan Rakel, yang menurutnya hanya menganggap Yasmine sebagai pengganti seseorang yang telah tiada. Padahal, Yasmine terlanjur jatuh cinta pada Rakel.

Sebenarnya apa yang terjadi pada masa lalu Rakel, Dylan, dan Elena? Benarkah Yasmine hanya dianggap pengganti seseorang oleh Rakel? Mampukah Yasmine dan Rakel menggenapi 5 misi yang diberikan Rakel?

Ini adalah contoh jenis cerita dimana saya tidak bisa simpati dengan tokoh-tokohnya namun biar bagaimanapun, ceritanya tetap berhasil membuat saya tertarik untuk terus membacanya. Biasanya, ketika seorang pembaca merasa tidak bisa connect atau simpati dengan tokoh utama cerita, ia akan berakhir tidak menyukai buku yang dibacanya. Itu juga kerap terjadi pada saya. Ketika saya tidak bisa memahami jalan pikiran dan keputusan si tokoh utama, maka saya akan menganggap buku yang saya baca menyebalkan. Bukan berarti saya menyukai novel-novel yang bertokoh utama sempurna. Saya suka membaca karakter yang tidak sempurna, namun paling tidak saya harus mengerti alasan si tokoh bersifat demikian dan akan lebih bagus jika di akhir cerita si tokoh utama berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Nah, di buku ini, saya tidak simpati pada tokoh Yasmine. Malah, saya kurang bisa mengerti kepribadiannya. Gadis ini digambarkan sangat kalem dan pasif. Dan karena penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga, saya pun tidak bisa menyelami pikiran Yasmine. Saya hanya tahu kalau gadis ini sudah tidak memiliki ibu dan suka memotret. Namun, apakah saya merasakan kesedihan dan kesepian dalam hatinya? Tidak. Dan untuk Rakel? Saya merasa lelaki ini kurang bisa memakai logika. Alasannya untuk bermusuhan dengan Dylan saya rasa terlalu dangkal dan perbuatannya ke Yasmine? Duh please deh! Jadi apa yang membuat saya bisa terus menikmati kisah keduanya? Tak lain dan tak bukan adalah kepiawaian penulis memasukkan gambaran kota Zurich ke dalam kisah Yasmine dan Rakel.

Jadi, seperti judul novelnya, Little Snow in Zurich, penulis mengambil setting kota Zurich di musim dingin, di mana suhu sangat dingin sampai di bawah nol derajat, dan salju kerap turun. Suasana seperti ini, menurut saya, sangat cocok untuk kisah yang mellow dan irit percakapan. Dan kisah Rakel dan Yasmine cocok terjadi dengan setting seperti ini. Kedua, penulis berhasil menggambarkan suasana kota Zurich lengkap dengan keindahan serta dinginnya tanpa menjadikan novel ini traveler's guidance book. Gambaran suasana tersebut dapat pembaca tangkap melalui aktivitas tokohnya. Misalnya, dari cara Yasmine memakai pakaiannya secara berlapis-lapis. Jadi, penggambaran deskripsi kota Zurich dan tempat-tempat lainnya yang didatangi para tokohnya tidak merusak jalan cerita, malah memperkuatnya. Dan saya sangat menikmati hal tersebut. Akibatnya, bahkan rasa sebal saya dengan tokoh Yasmine dan Rakel pun menjadi tertutupi.

Saya rasa, pengalamanan pertama saya membaca karya Alvi Syahrin meninggalkan kesan yang cukup baik. Sayang, dari segi cetakan buku masih terdapat banyak kecacatan. Yang terutama ada pada typo error di footnote. Urutan footnote mulai berantakan di halaman 43 di mana angka di samping judul bab tertulis 16 namun di bawah halaman tertulis 15. Hal ini terus berulang dan semakin sering kemunculannya ketika menginjak Bab 10. Di Bab 17, bahkan judul bab tidak diberikan footnote. Di Bab 23, secara ajaib, angka footnote kembali ke angka 11, padahal sebelumnya sudah mencapai 50. Lebih lucu lagi, tidak ada penjelasan arti kata "beichte" di bawah halaman. Jika ini adalah sebuah skripsi yang sedang disidangkan, maka skripsi ini bisa langsung dicoret oleh penguji karena footnote sangat diperhatikan. Untuk cetakan selanjutnya, alangkah baiknya jika penerbit lebih memerhatikan hal ini. Selain itu, ada juga kekurangan huruf pada halaman 54 di mana tertulis kata "menjijit-jijitkan" dan "menjijit" yang mana seharusnya "menjinjit-jinjitkan" dan "menjinjit". Di halaman 267 juga terdapat kata "menggeliti" yang seharusnya "menggelitiki". Selain itu, saya juga agak bingung dengan bonus gambar sketsa warna birunya yang bisa dilipat. Itu maksudnya untuk apa ya? Karena lipatannya sudah hancur begitu saya membuka buku ini dari plastiknya dan toh di buku ini sudah ada pembatas buku.

Dari segi cerita, kisah Yasmine dan Rakel di Zurich cukup enak untuk dinikmati. Buat yang ingin jalan-jalan ke Swiss, silahkan menikmatinya. Namun, untuk pembaca yang cukup kritis dengan typo error, ada baiknya menunggu cetakan yang baru ketimbang tidak bisa fokus pada cerita dan hanya asyik melingkari typo error-nya (seperti saya).


6 komentar:

  1. Wah, typo-nya banyak juga yaa... Buku GA-nya sudah sampai Mbak Nana. Mau mulai baca, makasih Mbak.. :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya footnote-nya berantakan. Tapi isinya sih nggak terlalu banyak salahnya.

      Hapus
  2. baru sekali baca bukunya Alvi, tentang persahabatan juga dan sama, aku nggak bisa bersimpati sama tokoh utamanya, nanti cari pinjaman aja deh :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi entah kenapa ceritanya cocok sama suasananya yang dingin. Yaaa Sulis. Kmaren baru kirim paket pinjeman buku ke Mbak Desti. Tau gitu ini buku bisa nyelip sekalian. Eh klo ada buku2ku yg mau dipinjem anak2 BBI Solo-Jogja, kumpulin aja daftarnya biar bisa dikirim sekaligus yaak.

      Hapus
  3. Pengen deh bisa koleksi semua serial STPC cuma budget ga memungkinkan... sejauh ini br punya 3, London, Bangkok dan Tokyo

    BalasHapus
  4. Irit percakapan? Hahaha iya sih.

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini