Sabtu, 31 Agustus 2013

Catatan Musim

Judul: Catatan Musim
Pengarang: Tyas Effendi
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 267
Harga: Rp. 45.000 (di Bukabuku Rp. 36.000)



Tya menyukai hujan seperti halnya ia menyukai teh. Hujan mengingatkannya pada sesosok lelaki yang selalu berjalan agak pincang dan membawa kanvas yang sering menemaninya di halte menunggu hujan reda. Gema namanya. Sedangkan, teh mengingatkannya pada sosok sahabat semasa kecilnya, Kak Agam, yang sudah pindah dari Bogor namun masih tetap mengirimkan cangkir teh polos warna-warni kepada Tya secara rutin, yang selalu dibalas oleh Tya dengan mengirimkan cangkir teh lainnya.

Sementara hubungan Tya dengan Kak Agam hanya dilakukan lewat surat menyurat, Tya dapat bertemu langsung dengan Gema, mengenal keluarga lelaki itu dan juga mengetahui kalau yang menyebabkan Gema berjalan pincang adalah suatu penyakit kanker yang akhirnya mengharuskan kaki lelaki itu diamputasi. Namun demikian, Tya tidak pernah bisa menyelami pikiran Gema. Dan akhirnya, Gema malah meninggalkan Tya ke Lille, Perancis, untuk melanjutkan kuliah.

Tya menyadari perasaan yang ia miliki terhadap Gema dan kemudian menyusul Gema ke Lille, juga untuk berkuliah. Sayang, ia kehilangan jejak Gema. Pertemuan kembali dengan Gema terjadi secara tidak sengaja, gara-gara cangkir teh. Saat itu, Gema telah menjalani operasi amputasi sebanyak dua kali lagi. Kesehatannya semakin lemah dan ia merasa rendah diri berhadapan dengan Tya yang sehat. Gema memutuskan untuk menjauh dari Tya, sesuatu yang secara otomatis ditolak oleh tubuhnya sendiri.

Kehadiran Kak Agam di Lille membuat situasi menjadi lebih rumit. Ia tidak suka mendapati bahwa cangkir-cangkir teh polos yang selama ini ia berikan kepada Tya telah dilukisi lukisan oleh Gema, seperti juga ia tidak suka mendapati bahwa hati Tya kini sudah diisi oleh Gema.

Romantisnya hujan.. Hangatnya teh.. Mana yang kau pilih?

Secara tema, sebenarnya buku Catatan Musim ini menjanjikan kisah yang cukup menarik dan menghanyutkan. Bayangkan saja, di tengah banjirnya kisah-kisah romance yang menggunakan tokoh utama yang sempurna secara fisik, novel ini malah menawarkan kisah mengenai seorang perempuan yang jatuh cinta pada seorang lelaki yang menderita kanker dan cacat fisik serta tidak tampan. Tidak pernah dikatakan kalau Gema jelek sih, namun tidak pernah juga ia dideskripsikan sebagai sosok lelaki berwajah menarik. Dan ini sebenarnya yang membuat saya tertarik membaca buku ini walau, dari beberapa review yang saya baca, beberapa orang berpendapat bahwa kisahnya biasa-biasa saja. Sayang, setelah saya selesai membacanya, saya merasa buku ini kurang cocok untuk saya.

Masalah yang saya temui bukan terletak pada cerita. Menurut saya ceritanya lumayan manis dan konflik yang disajikan cukup serius. Saya juga suka pesan moralnya. Namun saya menemukan banyak ketidakkonsistenan, terutama dari tokoh Tya. Pertama, saya tidak bisa mengerti Tya. Di satu sisi, ia adalah seorang gadis yang keras kepala dan berkemauan kuat. Ketika ia memutuskan untuk menyusul Gema, ia bisa langsung berangkat ke Lille. Ini di luar negeri lho, dan di negara yang mayoritas penduduknya tidak bicara bahasa Inggris. Padahal Tya bilang sendiri kalau kemampuan bahasa Perancisnya buruk. Orang-orang Perancis sebenarnya cukup sulit untuk dihadapi oleh orang asing. Mereka sangat bangga dengan bahasa mereka dan malas berbahasa Inggris. Sekalinya mau berbahasa Inggris pun, ucapan mereka sulit dimengerti karena pengucapan bahasa Perancis beda dengan bahasa Inggris. Jadi Tya ini menurut saya merupakan gadis yang berkemauan kuat. Namun, beberapa lembar kemudian, saya menemukan sosok Tya yang seperti anak manja dan tidak punya pendirian. Ia bahkan kebingungan untuk menolak ajakan teman satu flat-nya untuk tidur bersama. Lalu ketika ia menghadapi rekan kerja yang menghinanya, dengan cepat ia patah semangat. Lho, mana Tya yang sebelumnya saya kenal? Kedua, terkait bahasa Perancis tadi, kok bisa-bisanya dia diterima menjadi penerjemah buku ke dalam bahasa Perancis? Bukannya kemampuan bahasa Perancisnya buruk? Ini Tya sedang bercanda dengan saya ya?

Dari sisi Gema kejanggalan juga ada, yaitu mengenai operasi amputasinya. Sebenarnya dia sudah berapa kali amputasi sih? Bagian apa saja yang dipotong di setiap amputasi? Kok dia masih bisa bertahan di Perancis? Tidak pulang saja ke Indonesia? Lalu mengenai Kak Gadis, kakak Gema yang lumpuh dan phobia lukisan. Ini perempuan benar-benar sakit jiwa menurut saya. Ya, dia punya trauma. Namun perbuatan dan perkataannya benar-benar berlebihan. Dan saya heran bahwa orang tua Gema tidak berbuat apa-apa ketika Kak Gadis menyakiti Gema secara verbal, bahkan sebenarnya juga tidak berbuat apa-apa menyaksikan Gema melawan penyakitnya. Ya ampuun, keluarga macam apa ini?

Entah ya, kejadian yang menurut saya janggal tadi mungkin saja terjadi di dunia nyata. Kadang kenyataan kan bisa lebih aneh dari bayangan. Namun tetap saja, hal-hal tersebut membuat saya mengernyit bingung ketika membaca novel ini. Untungnya, kalau saya mengesampingkan hal-hal membingungkan tersebut, saya masih lumayan menikmati kisahnya. Kisah bagaimana Gema bergulat melawan perasaannya kepada Tya dan bagaimana Tya selalu dibuat bingung oleh tingkah laku Gema. Dan saya pun cukup menikmati simbol-simbol yang diberikan Tyas Effendi untuk menggambarkan karakter Tya, Gema, dan Kak Agam, lewat hujan, lukisan, cangkir teh, dan tentu saja tehnya. Buat saya, gaya menulis Tyas Effendi sangat cantik dan mudah diikuti. Hanya saja yaa... yang tadi itu.

Secara keseluruhan, saya tidak bisa bilang novel ini meninggalkan sesuatu yang mendalam untuk saya. Namun saya senang telah mencoba membaca karya Tyas Effendi. Ini buku pertama karangannya yang saya baca dan, karena saya menikmati caranya bercerita, saya yakin ini bukan karyanya yang terakhir yang saya baca. 

Recommended for teman-teman yang ingin membaca kisah romance namun bosan dengan tokoh-tokoh yang serba sempurna.

6 komentar:

  1. Aku juga menyayangkan karakterisasi di buku ini mbak. Kurang suka sama Tyas cs. -,-

    BalasHapus
  2. Agak sebel sama Tya.... plin plan gregetan....

    BalasHapus
  3. Ternyata penulisnya punya kembaran, komentar kembarannya sih gini;

    Novel yang romantis. Penulis bisa menggambarkan kota Lille dengan bagus, seolah aku bisa merasakan tiap musim yang berlalu di sana. Karakter tokohnya kuat. Dan penulis sudah punya kekuatan gaya penulisan yang khas, yaitu kalimat indah seperti puisi yang bisa menyihir pembaca.

    Kekurangannya, kisah berjalan terlalu cepat. kejadian-kejadian begitu cepat terjadi, pembaca belum sempat ambil nafas :D

    But overall, four standing thumbs! :D

    Anyway..., katanya sih memang bagus, cuma ratingnya variatif, ada yang 2, 3, bahkan 4.

    BalasHapus
  4. Romantisnya hujan ato hangatnya teh? HANGATNYA TEH dong!! hihi.
    Hmm brarti yang kurang konsisten itu penulisnya Kak....

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini