Sabtu, 28 Juni 2014

Gadis Kretek

Judul: Gadis Kretek
Pengarang: Ratih Kumala
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Halaman: 275






Keluarga Pak Raja heboh. Menjelang ajal, Pak Raja terus memanggil-manggil nama Jeng Yah. Nama yang asing bagi telinga ketiga putra Pak Raja: Tegar, Karim, dan Lebas, namun membakar rasa cemburu istri Pak Raja. Ya, Jeng Yah adalah wanita dari masa lalu Pak Raja yang selama ini berhasil dirahasiakan rapat-rapat dari ketiga anaknya.

Pak Raja adalah pengusaha rokok kretek. Pabrik rokok kretek Djagad Raja yang terletak di kota Kudus kini sudah maju pesat dan rokok kreteknya yang diramu dengan saus khusus yang begitu nikmat sangat terkenal. Namun, bagaimana awal mula Pak Raja mengenal bisnis rokok kretek, tidak diketahui oleh ketiga anaknya. 

Adalah Lebas, si bungsu yang selalu ngeyel dan membuat kesal keluarganya, yang berinisiatif pergi ke Kudus, tempat pabrik Djagad Raja berada, untuk mencari Jeng Yah sekaligus menuntaskan "ganjalan" romonya. Perjalanannya dengan mobil ke Kudus melalui Cirebon kemudian disusul oleh kedua abangnya. Pertengkaran dan nostalgia akan masa kecil mereka mewarnai perjalanan ketiga saudara tersebut.

Sesampainya di Kudus, berdasarkan cerita Mbok Marem, seorang pegawai tua pabrik Djagad Raja, ketiga putra Pak Raja mengetahui kalau Jeng Yah adalah pemilik Kretek Gadis yang dulu sangat terkenal, dan juga bekas kekasih sang romo. Ketiga saudara itu lantas mendatangi kota M, kota yang berdasarkan informasi merupakan kota tempat pabrik Kretek Gadis, yang keberadaannya mulai redup, berada. Apa yang mereka dapatkan kemudian sangat mengejutkan.

Ada rahasia apa di balik hubungan Pak Raja dan Jeng Yah? 

Gadis Kretek, secara ide, sebenarnya merupakan novel yang menarik. Mengangkat tema tentang rokok kretek, yang keberadaannya kini kok sepertinya antara dihargai atau tidak di negara ini, Gadis Kretek berhasil mencitrakan rokok sebagai sebuah produk yang indah dan berseni tinggi. Yang keberadaannya mencerminkan perjuangan rakyat kecil negara ini. Memang tidak dapat dimungkiri kalau pada masa kini, kita lebih mengenal rokok sebagai sesuatu yang merusak tubuh dan membuang-buang duit segala. Lihat saja kini peringatan merokok yang sudah semakin menyeramkan; bukan sekedar tulisan "Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin" namun sudah diubah menjadi "Merokok membunuhmu" dengan tambahan pria berkumis lebat dan dua tengkorak di belakangnya. Namun lucunya, sampai kini industri rokok juga tidak dilarang, karena begitu banyaknya masyarakat yang hidupnya tergantung pada industri rokok ini. Bukan hanya buruh di pabrik, namun juga petani cengkeh dan tembakau. Dan bagaimana mungkin memberangus kebun tembakau dan cengkeh seperti layaknya ladang ganja karena toh dua tanaman ini merupakan kekayaan negeri kita, yang dulu membuat bule-bule Eropa rela berlayar dan mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya?

Oh iya, sebelum lupa dan pembaca jadi tambah bingung, sebelumnya saya mau kasih bocoran dulu. Sebenarnya, ada dua alur yang berjalan secara paralel: alur masa kini dan alur masa lalu. Nah, di alur masa lalu ini, tokoh utamanya adalah Idroes Moeria. Siapa dia dan apa hubungannya dengan Jeng Yah dan ketiga putra Pak Raja, saya tidak bisa bilang dan harus dicari sendiri di dalam bukunya. Namun yang pasti, Idroes Moeria adalah seorang buruh rokok yang kemudian memulai sendiri usaha rokoknya dan berhasil.
 
Cara Ratih Kumala menggambarkan betapa pentingnya industri rokok kretek tradisional dalam kehidupan masyarakat lewat perjuangan Idroes Moeria membangun usaha rokoknya, inilah yang buat saya sungguh indah. Rokok digambarkan bukanlah suatu produk yang bisa diciptakan dengan instan. Butuh keterampilan dan juga naluri yang tajam untuk menghasilkan rokok yang bercita rasa tinggi. Dan menjalani usaha rokok kretek, bahkan sebelum ada peringatan Merokok Membunuhmu, pun ternyata sudah membutuhkan keuletan dan rasa pantang menyerah yang tinggi. 

Sayang, ketika mengawinkan kedua alur tersebut, sepertinya Ratih Kumala kedodoran. Jalinannya tidak pas dan ending-nya sama sekali tidak menggigit. Segala filosofi dan ilmu tentang rokok yang sebelumnya saya sangat nikmati pun seperti terbang lenyap seiring mata saya menghabiskan huruf demi huruf di halaman terakhir buku. Kenapa hanya seperti ini, pikir saya. Apakah penulis diberikan batas jumlah halaman oleh editor? Begitu banyak hal yang masih ingin saya baca dan saya ketahui perkembangannya namun.. apa boleh buat, halaman sudah tidak mungkin bertambah (kecuali kalau tiba-tiba keluar buku Gadis Kretek 2 ya..)

Selain ending yang tidak memuaskan sama sekali, keluhan saya masih ada lagi, yaitu tentang penggunaan istilah yang salah. Mengapa kata "seraya" bisa menjadi sama artinya dengan "serta-merta", "tiba-tiba", "mendadak" alih-alih "sambil"? Mengapa "pewaris" tiba-tiba menjadi orang yang mewarisi alih-alih orang yang mewariskan? Selain itu, penggunaan ejaan lama juga kerap tidak konsisten. Ini belum termasuk typo-error yang sebenarnya cukup banyak lho... Saya sebenarnya pembaca yang tidak terlalu peduli kesalahan-kesalahan semacam ini, namun kalau jumlahnya banyak dan berulang mau tak mau ya terganggu juga.

Sebagai penutup, novel Gadis Kretek adalah novel yang akan menambah wawasan kita mengenai industri rokok sebagai salah satu industri tradisional yang menghidupi banyak masyarakat negeri ini. Patut dibaca untuk lebih mengenal bangsa kita sendiri. Namun, dari segi cerita, menurut saya biasa saja.

Review ini dibuat dalam rangka Posting Bareng BBI bulan Juni 2014 dengan tema Sastra Asia.









2 komentar:

  1. Menarik banget sama tema yang jarang dipakai dalam novel. Keren

    BalasHapus
  2. aku juga ga suka sama endingnya.. sayang ya, padahal suka banget sama penjabaran tentang sejarah kretek Indonesia :) tapi jatih pingin coba baca lagi buku2 ratih kumala yang lain sih...

    BalasHapus

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...